Bukan karena tamu asing sering ke kantor Anies Baswedan. Alasan rencana pemindahan ibukota pemerintahan karena pemerintah menilai beban di Pulau Jawa terlalu berat. Rencana pemindahan ibukota ini sendiri sebenarnya sudah berulang kali diwacanakan sejak era pemerintahan Ir. Soekarno, Presiden pertama Indonesia.

Selengkapnya di bagian PENJELASAN dan REFERENSI

=============================================
Kategori : Konten yang Menyesatkan
=============================================

Beredar artikel berjudul “Gara-gara Tamu Asing Sering ke Kantor Anies daripada ke Istana Presiden, Ibukota pun Dipindah” yang dimuat di situs mediavalid.online.

Berikut isi artikel tersebut:

“Laman media sosial Anies Baswedan sering memposting foto-foto tamu asing yang sedang berkunjung. Terlihat Gubernur DKI Jakarta tersebut dengan luwes bercengkrama.

Sangat berbeda dengan Presiden RI yang terlihat kaku jika berkomunikasi dengan tamu asing. Bahkan cenderung menghindari acara-acara resmi yang digelar di luar negeri.
Bahkan karena terlalu seringnya Anies menerima kunjungan dari negara luar, Jokowi disebut warganet ngambek dan ingin memindahkan Ibukota Jakarta.

“Mengapa tamu dari luar negeri nggak mau singgah ke istana presiden? Kok malah ke kantor Gubernur DKI Jakarta?,” tanya seorang warganet dengan usil.
“Gara-gara itu ibukota Jakarta mau dipindah ke luar Jawa,” sambung yang lain.”

Selengkapnya di http://bit.ly/35n62kw (Arsip)

=============================================

PENJELASAN

Berdasarkan hasil penelusuran dengan menggunakan kata kunci “alasan pemindahan ibukot Indonesia”, tidak ditemukan klaim yang sama dengan judul dan artikel yang dimuat di situs itu.

Alasan pemerintah memindahkan ibukota pemerintahan salah satunya dimuat di situs nasional.republika.co.id pada Senin 26 Aug 2019 15:18 WIB dengan judul “Presiden Jokowi: Beban Pulau Jawa Terlalu Berat”

Pemerintah telah memutuskan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur sebagai kawasan ibu kota baru pemerintahan karena menilai beban di Pulau Jawa terlalu berat.

“Beban Pulau Jawa yang semakin berat dengan penduduk sudah 150 juta atau 54 persen dari total penduduk Indonesia dan 58 persen PDB ekonomi Indonesia ada di Pulau Jawa,” kata Presiden Joko Widodo dalam jumpa pers terkait rencana pemindahan ibu kota di Istana Negara, Jakarta pada Senin (26/8).

Menurut Jokowi, beban Kota Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan dan bisnis sudah sangat padat. Pemerintah telah melakukan kajian kepada sejumlah calon kawasan ibu kota dan menilai jika ibu kota pemerintahan tetap di Pulau Jawa maka bebannya akan semakin berat.

Indonesia, ujar Presiden, membebankan pusat ekonomi dan pusat pemerintahan di Pulau Jawa sehingga kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas, polusi udara, dan air sudah sangat parah.

“Ini bukan kesalahan pemerintah Provinsi DKI, bukan. Tapi karena besarnya beban yang diberikan perekonomian Indonesia kepada Pulau Jawa dan Kota Jakarta. Kesenjangan ekonomi antara Pulau Jawa dan luar Jawa yang terus meningkat meski pun sejak 2001 sudah dilakukan otonomi daerah,” ujar Presiden menjelaskan perlunya pemindahan ibu kota ke luar Pulau Jawa.

Pemerintah telah melakukan kajian rencana pemindahan ibu kota selama tiga tahun terakhir.

“Hasil kajian-kajian tersebut menyimpulkan bahwa lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, ” kata Presiden. Terdapat lahan seluas 180 ribu hektare di Provinsi Kaltim yang dimiliki oleh pemerintah.

Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil menjelaskan diperlukan lahan seluas 3.000 hektare untuk pembangunan kantor pemerintahan sebagai tahap pertama pembangunan kawasan ibu kota.

Selain itu, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menjelaskan salah satu skema pembiayaan untuk pembangunan sarana infrastruktur antara lain jalan, bandara dan pelabuhan di ibu kota baru akan dibiayai BUMN dalam bentuk investasi.

Sedangkan estimasi cost project dan pembiayaan fisik ibu kota baru akan menggunakan pembiayaan dari tiga sumber yakni APBN, skema kerja sama antara pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan skema kerja sama pemanfaatan atau pihak swasta. Menurut Kementerian PPN, estimasi total biaya proyek (cost project) dan pembiayaan fisik ibu kota negara mencapai Rp466 triliun.

Estimasi total biaya itu terdiri atas tiga sumber pembiayaan yakni APBN sebesar Rp 74,44 triliun, skema KPBU Rp 265,2 triliun, dan swasta melalui skema kerja sama pemanfaatan sebesar Rp 127,3 triliun.

Jokowi mengatakan pemindahan Ibu Kota bukanlah wacana baru. “Gagasan pemindahan Ibu Kota sudah lama muncul sejak era Presiden Soekarno. Sampai di setiap era presiden pasti muncul gagasan itu,” kata Jokowi.

Menurut mantan Gubernur DKI itu, wacana pemindahan selalu timbul lalu tenggelam karena tidak pernah diputuskan dan dijalankan secara terencana dan matang. Padahal, beberapa negara sudah mulai mengantisipasi perkembangan negaranya di masa yang akan datang dengan memindahkan pusat pemerintahan. “Saya kira kita contohkan banyak sekali, baik Malaysia, Korea Selatan, Brasil, Kazakhstan. Kita ingin kita berpikir visioner untuk kemajuan negara ini,” ujarnya.

Pemindahan Ibu Kota negara pernah disebut dua kali oleh Presiden pertama, Sukarno. Pertama, saat meresmikan Palangka Raya sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah pada 1957. Saat itu, Bung Karno ingin merancangnya menjadi ibu kota negara. Hal itu menurut Bung Karno sudah tertuang dalam masterplan yang ia buat sendiri dalam pembangunan kota tersebut pada masa kemerdekaan.

Kedua, dengan gaya retorikanya Bung Karno kembali menyebut Palangka Raya sebagai calon ibu kota negara pada Seminar TNI-AD I di Bandung pada 1965.

Di era kepemimpinan Soeharto, gagasan pemindahan ibu kota muncul kembali dengan mengusulkan daerah Jonggol, Bogor, sebagai Ibu Kota negara.

Pemindahan ibu kota kembali ramai di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2010. Waktu itu SBY menawarkan tiga opsi untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota Jakarta. Pertama, mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota maupun pusat pemerintahan dengan pembenahan total.

Kedua, Jakarta tetap menjadi ibu kota, tetapi pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah lain. Presiden waktu itu mencontohkan Malaysia, yang beribu kota di Kuala Lumpur tapi pusat pemerintahannya di Putrajaya. Terakhir, membangun ibu kota baru, seperti Canberra (Australia) dan Ankara (Turki).

Opsi itu muncul kembali setelah Jakarta dilanda banjir besar pada 2013. “Presiden tak tabu membicarakan pemindahan ibu kota,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah di era SBY, Velix Wanggai.

Di era pemerintahan Jokowi, wacana tersebut muncul pada 2017, kemudian dibahas lagi pada 2018, dan terakhir dalam ratas pada Senin kemarin. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menawarkan tiga alternatif kajian pemindahan Ibu Kota. Alternatif pertama, ibu kota tetap di Jakarta, namun dibangun distrik khusus pemerintahan di Istana dan Monas. Alternatif kedua, ibu kota berada di kawasan Jabodetabek. Sedangkan alternatif ketiga berada di Pulau Jawa.

Dari ketiga alternatif tersebut, Jokowi memilih alternatif terakhir yaitu memindahkan ibu kota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. “Kalau saya, alternatif satu dan dua sudah tidak,” katanya.

REFERENSI :
https://www.antaranews.com/berita/1157867/hoaks-jokowi-pindahkan-ibu-kota-karena-tamu-asing-suka-bertemu-anies
https://www.antaranews.com/berita/1030048/pemerintah-pindahkan-ibu-kota-karena-beban-di-pulau-jawa-berat
https://nasional.republika.co.id/berita/pwu4fi382/presiden-jokowi-beban-pulau-jawa-terlalu-berat
https://nasional.tempo.co/read/1200537/rencana-pemindahan-ibu-kota-dari-era-soekarno-hingga-jokowi/full&view=ok
https://www.idntimes.com/news/indonesia/teatrika/ini-konsep-pemindahan-ibu-kota-dari-era-soekarno-hingga-jokowi