Usulan referendum oleh Sultan Yogyakarta itu terjadi pada 2010. Referendum yang diusulkan itu, bukan memilih bergabung dengan Indonesia atau tidak. Konteksnya adalah terkait dengan kekosongan aturan mengenai suksesi gubernur dan wakil gubernur DIY. Selengkapnya di bagian PENJELASAN dan REFERENSI
===============================================
Kategori : DISINFORMASI / Konten yang Salah
===============================================
Beredar postingan yang memuat 2 gambar dengan narasi sebagai berikut :
“Aceh dan yogyakarta akan referendum
apa yg terjadi di negri ini”
Narasi dalam gambar:
1. “Mengapa Sri Sultan Mengusulkan Referendum?” – Tangkapan layar dari dari media viva.co.id
2. “Masyarakat Yogyakarta referendum” – Foto aksi sejumlah warga memakai blangkon dan membentangkan spanduk
Sumber : Akun Zunnurain Aisy Jol ( facebook.com/alafanta.jol ) – https://web.archive[dot]org/web/20190531065256/https://www.facebook.com/photo.php?fbid=2397687663604124&set=pcb.468198603943864&type=3&theater – Sudah dibagikan 9363 kali saat tangkapan layar diambil.
===============================================
PENJELASAN
Berdasarkan hasil penelurusan Tempo menunjukkan bahwa berita berjudul “Mengapa Sri Sultan Mengusulkan Referendum?” dimuat oleh viva.co.id pada Jumat 1 Oktober 2010.
Pemberitaan itu mengenai usulan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk melakukan referendum bagi warga Yogyakarta. Usulan itu kemudian didukung oleh Paguyuban Perangkat Desa propinsi itu — yang bergabung dalam Parade Nusantara DIY.
Namun usulan referendum itu, bukan untuk memilih apakah Yogyakarta bergabung dengan Indonesia atau tidak. Tapi untuk menentukan apakah gubernur dan wakilnya dipilih langsung lewat proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sebagaimana yang terjadi di daerah lain. Opsi kedua, dengan cara penetapan sehingga Sultan otomatis menjadi gubernur dan Sri Pakualam otomatis jadi wakil.
Penetapan seperti ini sudah berlaku sejak Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Penetapan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai gubernur dan Sri Pakualam VIII sebagai wakil gubernur itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang DIY. Repotnya, undang-undang itu hanya mengatur jabatan gubernur dan wakil gubernur saat dijabat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII, dan sama sekali tidak mengatur suksesinya. Walhasil sesudah Sri Pakualam VIII wafat pada 1998, terjadi kekosongan penguasa di Yogyakarta.
Pemerintah pusat, DPRD Yogyakarta dan Keraton berdebat sengit soal ini. Atas desakan rakyat, pemerintah pusat kemudian menetapkan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai gubernur. Wakilnya belum ada, sebab suksesi di Pakualam saat itu belum selesai. Setelah Sri Pakualam IX naik tahta, dia kemudian ditetapkan sebagai wakil gubernur tahun 1999. Tahun 2000, Majelis Permusyawaratan Perwakilan Rakyat (MPR), melakukan perubahan terhadap Undang-Undang 1945.
Dalam perubahan itu, soal daerah istimewa dibahas dalam pasal 18B. Pasal itu menyebutkan bahwa keistimewaan suatu daerah akan diatur secara khusus dalam undang-undang. Mengacu pada pasal 18B itu, tahun 2002 pemerintah DIY mengusulkan rancangan undang-undang keistimewaan Yogyakarta. Usulan itu dikembalikan ke pemerintah Yogya lantaran ada yang menolak pengangkatan gubernur lewat penetapan itu.
Ketika masa jabatan Sri Sultan Hamengkubuwono berakhir tahun 2003, polemik kembali mencuat. Bagaimana memilih gubernur berikutnya. Lalu muncul tiga usulan. Dipilih langsung oleh rakyat lewat Pilkada, dipilih oleh DPRD dan penetapan langsung sebagaimana yang berlangsung sebelumnya. Atas desakan rakyat, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian dilantik menjadi gubernur untuk masa jabatan 2003-2008.
Untuk kedua kalinya pada tahun 2006, pemerintah Yogyakarta mengajukan usul RUUK keistimewan Yogyakarta. Usulan itu kemudian mental lagi, karena sejumlah kalangan tidak setuju, terutama soal mekanisme penentuan pemerintah daerah itu. Entah karena terkatung-katungnya nasib RUUK keistimewan itu, pada hari ulang tahunnya ke-61 tanggal 7 April 2007, Sri Sultan mengeluarkan pernyataan yang dianggap bersejarah oleh masyarakat Yogya.
Setelah masa jabatannya selesai pada 2008, Sultan tak mau lagi menjadi gubernur. Rakyat Yogya menolak dan bertanya soal niat Sultan itu. Sultan lalu menjelaskan sikapnya itu dalam acara Pisowanan Agung, 18 April 2007, yang dihadiri 40 ribu orang. Lagi-lagi atas desakan rakyat, pemerintah pusat kemudian melantik Sri Sultan sebagai gubernur hingga Oktober 2011. Jelang 2011, RUUK soal Keistimewaan itu belum juga dibahas di DPR. Rancangan itu masih di tangan Departemen Dalam Negeri. Sejumlah kalangan menilai bahwa Sultan merasa pemerintah pusat tidak ikhlas dengan keistimewaan Yogyakarta itu.
Itu sebabnya Sultan mengusulkan agar sebelum pemerintah menyerahkan rancangan ke DPR, sebaiknya tanya kepada rakyat Yogya. Bertanya kepada rakyat itu, kata Sultan, sama artinya dengan referendum.
Sedangkan foto kedua diambil dari detik.com edisi 30 November 2010 pada berita yang berjudul “KIPER Siap Kawal Referendum di Yogyakarta”. Konteks foto tersebut adalah aksi sejumlah warga yang mendeklarasikan Komite Independen Pengawal Referendum (KIPER) di sekitar Alun-alun utara Yogyakarta.
Terbentuknya KIPER itu untuk mengawal dilaksanakannya referendum di Yogyakarta sebagaimana usulan dari Sri Sultan. KIPER sendiri menginginkan proses pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tetap melalui proses penetapan, bukan pemilihan langsung. KIPER menilai saat ini Sultan dan Paku Alam tetap jadi duet terbaik untuk memimpin pemerintahan DIY.
Sementara itu terkait narasi tentang referendum di Aceh, mantan pimpinan juru runding Indonesia dalam MOU Helsinki 2005, Hamid Awaludin mengatakan, ucapan Ketua Umum Partai Aceh Muzakir Manaf yang memunculkan wacana referendum di Aceh, “bukan hanya tidak urgent (penting)” tetapi juga “bahaya sekali” bagi jalannya perdamaian Aceh yang sudah berjalan lebih dari 14 tahun.
“Karena kalau Anda tanya saya (apa) urgensinya (ucapan Muzakir Manaf tersebut), bukan hanya tidak urgent, tapi itu bahaya sekali, bahaya sekali,” kata Hamid Awaludin dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Heyder Affan, melalui telepon, Kamis (30/05).
“Rakyat Aceh sudah nikmati kok, apa yang terjadi sekarang,” tambahnya.
Wacana menggelar referendum di Aceh dengan pilihan, tetap menjadi bagian wilayah Indonesia atau lepas dan menjadi negara baru, sebagaimana dalam kasus Timor Leste, diutarakan Muzakir Manaf, mantan panglima Gerekan Aceh Merdeka (GAM) yang saat ini menjabat sebagai ketua umum Komite Peralihan Aceh (KPA) dan sekaligus ketua umum Partai Aceh (PA).
REFERENSI :
https://cekfakta.tempo.co/fakta/304/fakta-atau-hoaks-benarkah-yogyakarta-minta-referendum-pascapemilu-2019
https://www.viva.co.id/indepth/fokus/180523-referendum-yogya-menuai-pro-kontra
https://news.detik.com/berita/1506126/kiper-siap-kawal-referendum-di-yogyakarta
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-48449524