Terhitung 1 Januari 2019, tempat tinggal tersebut tidak boleh digunakan lagi sebagai rumah ibadah hingga memiliki izin. Namun, Pendeta Jans ternyata menolak menandatangani surat kesepakatan tersebut. Aktivitas ibadah tetap dilakukan pada 6 Januari 2019 sehingga sehari setelahnya Kecamatan Medan Labuhan bersurat ke Kapolsek untuk menertibkan.
======
Kategori : KLARIFIKASI
======
Sumber : Media Sosial Facebook
======
Penjelasan :
Sebuah video berdurasi 1 menit beredar di media sosial memperlihatkan sejumlah massa menggeruduk sebuah bangunan, yang diketahui gereja hingga membubarkan jemaat di dalamnya.
Video tersebut diunggah oleh akun Instagram @eunikeyulia, Minggu (13/1/2019). Akun @eunikeyulia sudah menghapus unggahan video tersebut di Instagram miliknya.
Video viral ini menjadi bahan perbincangan oleh masyarakat karena terjadi adanya massa yang menghadang sekelompok masyarakat yang merupakan Jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Philadelpia yang beralamat di Jl. Permai 4 blok 8 Griya Martubung, No. 31, Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan Sumatera Utara, untuk beribadah.
Agar tidak menjadi fitnah di antara masyarakat, Kementerian Agama (Kemenag) memberikan keterangannya. Berikut keterangan dari Kemenag :
Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Medan Al Ahyu membenarkan adanya protes warga atas berlangsungnya kegiatan ibadah di tempat tinggal Pendeta Jans Fransman Saragih yang berlokasi di Jalan Permai 4 Blok B Griya Martubung No. 31, Kelurahan Besar, Kecamatan Medan Labuhan, Medan, Sumatera Utara.
Aksi protes terjadi pada Minggu (13/01), saat sejumlah umat Nasrani sedang menjalankan ibadah di rumah sang pendeta. Protes terjadi karena sejumlah umat Nasrani memanfaatkan tempat tinggal Pendeta Jans Fransman sebagai rumah ibadah.
“Warga protes karena tempat tinggal digunakan sebagai rumah ibadah. Itu rumah pribadi Pendeta Jans Frasman Saragih yang dimanfaatkan sebagai tempat ibadah,” jelas Al Ahyu melalui keterangan tertulis, Senin (14/01).
“Warga protes, bukan menggeruduk apalagi menyerang, karena rumah itu belum memiliki izin sebagai rumah ibadah sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri nomor 8 dan 9 tahun 2016,” lanjutnya.
Menurut Al Ahyu, keberatan warga sudah disampaikan sejak Agustus 2018 lalu. Pihak Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan sudah mempertanyakan surat lzin Mendirikan Bangunan (lMB), Keterangan Situasi Bangunan (KSB), serta fotocopy surat tanah kepada Pendeta Jans Fransman. Dua bulan berikutnya (November), pihak kelurahan juga sudah meminta Pendeta Jans Fransman untuk tidak menggunakan tempat tinggalnya sebagai rumah ibadah.
Akhir November 2018, lanjut Al Ahyu, KUA Medan Labuhan menerima surat warga yang meminta penjelasan terkait aturan dan persyaratan pendirian rumah ibadah. Berdasarkan surat tersebut, KUA Medan Labuhan memberikan jawaban yang ditembuskan kepada seluruh instansi terkait, termasuk Pendeta Jans Fransman.
“KUA mengimbau Pendeta Jans untuk menghentikan kegiatan ibadah di tempat tinggalnya hingga terpenuhinya kelengkapan dokumen legal yang dipersyaratkan sebagai rumah ibadah,” tuturnya.
Pada 6 Desember 2018, digelar rapat di Aula Kantor Camat Medan Labuhan. Rapat mengundang Muspika Kecamatan, Kemenag Kota Medan, MUI Kecamatan, FKUB Kota Medan, dan masyarakat yang bersengketa. Rapat ini menyepakati bahwa tempat tinggal Pendeta Jans tersebut bisa dimanfaatkan sebagai tempat ibadah hingga Desember 2018 untuk menyambut Natal dan Tahun Baru.
Terhitung 1 Januari 2019, tempat tinggal tersebut tidak boleh digunakan lagi sebagai rumah ibadah hingga memiliki izin. Namun, Pendeta Jans ternyata menolak menandatangani surat kesepakatan tersebut. Aktivitas ibadah tetap dilakukan pada 6 Januari 2019 sehingga sehari setelahnya Kecamatan Medan Labuhan bersurat ke Kapolsek untuk menertibkan.
“Minggu kemarin, warga protes, menagih hasil kesepakatan 6 Desember 2018 kepada Pendeta Jans. Hari itu, Pendeta Jans Fransman membubuhkan tanda tangan,” jelasnya.
Ahyu memastikan suasana saat ini sudah kondusif. Pendeta Jans Fransman juga berjanji akan menghentikan kegiatan ibadah di rumahnya.
Protes tersebut dilakukan karena pihak jemaat GBI Filadelfia Griya Martubung belum memiliki ijin pendirian rumah ibadah atau pemanfaatan bangunan gedung sebagai tempat ibadah, sesuai dengan diktum Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 tahun 2006.
Hal senada juga disampaikan Camat Medan Labuhan, Arrahmaan Pane. Beredarnya informasi di media sosial yang memuat adanya penggerudukan gereja itu tidak benar.
Masyarakat hanya meminta komitmen dari pihak GBI jemaat Filadelfia Griya Martubung sesuai hasil rapat tanggal 6 Desember 2018 yang menyepakati bahwa rumah yang dimanfaatkan sebagai tempat ibadah tersebut diberikan kesempatan hingga Desember 2018 untuk menyambut perayaan Natal dan Tahun Baru 2019.
“Perlu diluruskan di situ tidak ada gereja. Jadi yang berkembang di media sosial ini warga atau ormas menggeruduk gereja. Sementara yang hadir di situ masyarakat tidak ada ormas jadi ini banyak dipolitisir. Tidak ada gereja yang ada rumah dijadikan tempat ibadah,” ungkap Arrahmaan.
Kemudian setelah terjadinya aksi protes itu kegiatan ibadah yang telah berlangsung selama dua bulan di rumah tersebut ditiadakan. Hal itu dilakukan usai salah satu perwakilan dari GBI Filadelfia Griya Martubung yakni pendeta Jans Fransman Saragih menandatangani surat perjanjian penghentian kegiatan di rumah yang dimaanfaatkan sebagai tempat ibadah sampai melengkapi dokumen sesuai dengan aturan berlaku.
“Sampai sekarang kondisinya tidak ada masalah. Kapolsek Medan Labuhan menyatakan untuk minggu depan diyakini tidak ada ibadah di rumah tersebut sampai menunggu diurus izinnya,” ucap Arrahmaan.
Pendeta Jans Fransman Saragih menuturkan dalam kejadian yang menimpa jemaat GBI Filadelfia Griya Martubung, Minggu (13/1/2019) pada saat sedang beribadah, tidak ada kekerasan fisik yang diterima. Namun mereka mendapat tekanan berupa kalimat-kalimat intimidasi.
“Tidak ada, tapi kalimat lebih dari perbuatan secara fisik. Begitu intimidasinya,” ungkapnya.
Kini jemaat GBI Filadelfia Griya Martubung akan beribadah di lokasi lain sembari menunggu terpenuhinya kelengkapan dokumen legal pemanfaatan bangunan gedung sebagai tempat ibadah.
“Untuk sementara dipindah tempat ibadah ke lokasi lain menurut perjanjian itu. Saya heran kenapa di tempat saya tinggal sudah 8 tahun tidak boleh ada kebebasan untuk beribadah. Padahal tidak ada mengganggu,” pungkas Jans.
Dari pihak Majelis Pekerja Harian-Persekutuan Gereja-Gereja Wilayah Sumatera Utara (MPH-PGIW) Sumut mengeluarkan pernyataan sikap terkait peristiwa tersebut.
Berikut pernyataan lengkapnya:
Pernyataan Sikap Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Wilayah Sumatera Utara Terkait Penghadangan Aktivitas Beribadah Jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Philadelpia, Martubung, Medan.
Minggu, 13 Januari 2018 menjadi hari kelam bagi kebebasan beragama sekaligus menambah daftar aksi intoleransi di negara kita, Indonesia. Jemaat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Philadelpia yang beralamat di Jl. Permai 4 blok 8 Griya Martubung, No. 31, Kelurahan Besar Kecamatan Medan Labuhan Sumatera Utara, mengalami penghadangan beribadah oleh sekelompok masyarakat, dengan dalil rumah yang dijadikan tempat beribadah belum memiliki izin sebagaimana yang diaturkan dalam PBM No. 9/8 tahun 2006.
Menanggapi hal tersebut Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Sumatera Utara (MPH PGI-WSU) menyatakan:
1. Turut prihatin dengan adanya aksi penghadangan beribadah oleh sekelompok orang terhadap Jemaat GBI Philadelpia Martubung, Medan. Untuk itu kami mendesak agar pihak kepolisian mengusut tuntas dalang di balik penghadangan tersebut demi tegaknya keadilan di negeri ini, serta mengamankan dugaan tindakan dan cara kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok masa saat ibadah berlangsung.
2. Negara kita adalah negara hukum, dimana UUD 1945 sebagai landasan hukum di negeri ini, dengan tegas memberi kebebasan bagi setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama, sebab beragama adalah Hak Asasi Manusia. Penghadangan beribadah Jemaat GBI Philadelpia mengindikasikan bahwa masih banyak warga negara yang melanggar UUD 1945 dan juga melanggar hak konstitusional warga negara.
3. Dari berbagai kasus bahwa penghadangan beribadah di negeri ini berkutat pada alasan klasik soal izin sebagaimana termaktub dalam PBM No. 9/8 Tahun 2006, padahal sesungguhnya PBM tersebut bukan untuk mempersulit umat beribadah, tapi dengan tujuan, terjalinnya keteraturan dan kerukunan umat beragama. Dengan demikian kami mengharapkan semua lapisan untuk memahami PBM No. 9/8 tahun 2006 secara utuh dan tidak sepenggal-penggal.
4. Agar pemerintah Kota Medan bersama-sama dengan FKUB Kota Medan segera mencari solusi penyelesaian masalah dan menjamin kebebasan beribadah bagi Jemaat GBI Philadelpia Martubung, Medan, atas dasar kekeluargaan dan mengedepankan suasana sejuk dan damai.
5. Meminta kepada negara untuk memberikan jaminan dan perlindungan hukum bagi warga negara yang akan melakukan ibadahnya melalui perangkat kebijakan hukum atau perundangan-undangan yang tegas.
6. Agar setiap jemaat gereja proaktif menjalin komunikasi yang baik dengan lingkungan sekitar, dan melakukan pendekatan-pendekatan kekeluargaan. Agar kehadiran gereja dapat diterima dan membawa berkat bagi warga sekitar.
7. Mengajak seluruh warga gereja untuk tidak terprovokasi dengan adanya tindakan penghadangan beribadah terhadap Jemaat GBI Philadelpia, dan tetap mendoakan agar Pemerintah beserta FKUB Kota Medan diberikan hikmat dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi Jemaat GBI Philadelpia Martubung, Medan, sehingga saudara-saudari kita dapat kembali malakukan kebaktian ibadah sebagaimana yang sudah dilakukan selama ini.
Medan, 15 Januari 2018
Atas nama Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia wilayah Sumatera Utara (PGI-WSU)
Ketua Umum
Bishop Darwis Manurung, S.Th, M.Psi
Sekretaris Umum
Pdt Hotman Hutasoit, M.Th.
Referensi :