KADERNYA EVA SUNDARI MINTA PENDIDIKAN AGAMA DI HAPUS DAN ADZAN DI TIADAKAN.
INI KAUM KAFIR APA KOMUNIS SEBENARNYA.
NANYA AJAH..” (narasi di post)
“CUKUP VIRALKAN INI DAN DIKOPI KASIKAN KE
RAKYAT PLOSOK PLOSOK DESA INSYA ALLAH
PASTI TUMBANG DAN PASTI DIBENCI SAMA
RAKYAT TERUTAMA RAKYAT KAUM PEDESAAN
PERDALAMAN” (narasi di dalam foto)
======
(1) http://bit.ly/2rhTadC / http://bit.ly/2MxVN7S, First Draft News: “Konten yang Menyesatkan
Penggunaan informasi yang sesat untuk membingkai sebuah isu atau individu”.
Post sumber mendaur ulang disinformasi yang sebelumnya sudah pernah diedarkan yaitu tangkapan layar dari situs AndebaNews yang menggunakan sumber situs Blog yang sudah dihapus oleh penyedia layanan blog tersebut. Selengkapnya di post sebelumnya di http://bit.ly/2SKbk3R.
——
(2) Mengenai klaim “minta pendidikan agama dihapus”: Status tersebut adalah tangkapan layar dari situs Blog yang sudah dihapus oleh penyedia layanan. AndebaNews, sumber yang disebut oleh Blog tersebut, menggunakan sumber situs Blog yang sudah dihapus juga. Bahan yang “diolah” adalah peristiwa yang terjadi di tahun lalu, selengkapnya dibahas di post sebelumnya di http://bit.ly/2OmHhfe: [SALAH] “Pendidikan Agama Akan Dihapus”.
——
(3) Mengenai klaim “adzan ditiadakan”: Aturan mengenai penggunaan pengeras suara sudah ada sejak 1978, foto yang digunakan di post sumber berasal dari blog yang sudah dihapus dan diblokir oleh penyedia layanan, selengkapnya dibahas di post sebelumnya di http://bit.ly/2RBZRlL: [SALAH] “MAUNYA REZIM JOKOWI ADZAN tak perlu TERIAK TERIAK”.
======
REFERENSI
(1) http://bit.ly/2MHDMnM, Kumparan: “Hoaxbuster: Tidak Benar Mata Pelajaran Agama Dihapus
Hoaxbuster: Tidak Benar Mata Pelajaran Agama Dihapus
kumparanNEWS
Rabu 14 Juni 2017 – 11:11
(foto)
Hoax tidak benar pelajaran agama dihapus (Foto: Yufienda Novitasari/kumparan)
Beredar kabar di media sosial dan whatsapp group. Isinya berita tentang kebijakan Kemendikbud yang menghapus mata pelajaran agama.
kumparan (kumparan.com) pada Rabu (14/6) kemudian mengonfirmasi berita yang menyebar luas dan membuat gundah gulana para orangtua dan guru ini ke Kemendikbud. Dari ujung telepon Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemdikbud Nadjamuddin Ramly yang juga menjabat sebagai Wasekjen MUI memberi penjelasan.
“Itu hoax, tidak benar pelajaran agama dihapus,” tegas Nadjamuddin.
Dia lalu memberi penjelasan dengan gamblang. Sangat tidak mungkin mata pelajaran agama dihapus, karena di UU dan konstitusi sudah jelas disebutkan kalau mata pelajaran agama adalah hal yang wajib.
“Dalam UU Sisdiknas pelajaran agama itu wajib,” beber dia.
Nadjamuddin mengisahkan asal mula pemberitaan itu menyebar. Menurut dia bermula dari rapat dengar pendapat (RDP) Mendikbud dengan DPR beberapa waktu lalu.
Saat itu ada wartawan yang salah kutip. Ucapan soal penghapusan mata pelajaran agama bukan dari Mendikbud tetapi datang dari seorang anggota DPR.
“Jadi tidak benar mata pelajaran agama dihapus. Mata pelajaran agama ini perintah konstitusi,” imbuhnya.
Malahan, kata dia, pelajaran agama juga dianjurkan ditambah di luar sekolah, untuk seorang muslim bisa belajar diniyah atau madrasah, untuk yang kristen bisa ke gereja, dan yang Hindu bisa ke Pura. Ini dilakukan sebagai tambahan di luar jam sekolah.
(foto)
Mendikbud Muhadjir Effendy di DPR (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Dan dilansir dari situs Kemendikbud, Mendikbud Muhadjir Effendy juga memberi penjelasan. Menurut Muhadjir, mata pelajaran agama akan tetap ada, bahkan bisa menjadi semakin kuat jika ada kerja sama antara sekolah dengan madrasah diniyah. Nilai kegiatan keagamaan yang diikuti siswa di madrasah diniyah bisa dipakai untuk melengkapi pendidikan agama di sekolah.
“Jadi bukan menghapus pelajaran agama. Justru bisa dipakai untuk jadi penguat (pelajaran agama). Jadi tidak ada pengulangan (antara yang diajarkan dalam pelajaran agama di sekolah dengan yang diajarkan di madrasah diniyah),” tegas Mendikbud.
Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu mengatakan, ada lima nilai utama karakter prioritas program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), salah satunya adalah religius.
Karena itu, tuturnya, tempat-tempat ibadah pun bisa menjadi sumber belajar atau learning resource. Untuk mendukung penguatan pendidikan karakter dalam delapan jam di hari sekolah, siswa bisa melakukan kegiatan keagamaan di masjid, gereja, pura, wihara, dan pusat aktivitas ibadah lainnya. Mendikbud berharap sekolah dapat bekerja sama dengan lembaga lain dalam mengisi kegiatan delapan jam di hari sekolah.
Editorial Team”.
——
(2) http://bit.ly/2Cf0kHM, Liputan6: “Benarkah Pendidikan Agama Akan Dihapus? Ini Penjelasan Kemdikbud
Liputan6.com
14 Jun 2017, 10:00 WIB
(foto)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy bersama dengan Produser Falcon Pictures, Frederica
Liputan6.com, Jakarta – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengklarifikasi pemberitaan soal adanya rencana penghapusan pendidikan agama seiring akan diterapkannya kebijakan sekolah selama 8 jam sehari dan lima hari dalam sepekan.
“Judul pemberitaan tersebut tidak tepat. Ada konteks yang terlepas dari pernyataan Mendikbud usai raker dengan Komisi X,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud Ari Santoso seperti dikutip dari Antara, Rabu (14/6/2017).
Ia mengatakan, upaya meniadakan pendidikan agama tidak ada di dalam agenda reformasi sekolah sesuai dengan arahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy.
Menurut dia, konteks pernyataan Mendikbud Muhadjir Effendy kepada wartawan soal pendidikan agama merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2017.
Permendikbud itu mengamanatkan sekolah dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan karakter yang sesuai dengan nilai karakter utama religiusitas atau keagamaan.”
——
(3) http://bit.ly/2wVwm5y, Bimas Islam Kemenag: “Ini Dia Aturan Bimas Islam tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid
Thursday, 11 June 2015 | 12:21 Berita
Jakarta, bimasislam— Masyarakat menaggapi beragam pandangan Wakil Presiden Jusuf Kalla tentang pemutaran kaset pembacaan ayat suci al-Quran di masjid dan mushalla menjelang tiba waktu shalat. Menurutnya pria yang akrab disapa JK itu, pemutaran kaset pengajian menjelang waktu shalat melahirkan ‘polusi suara.’ Statemen itu disampaikan JK pada pembukaan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia di Pondok Pesantren Attauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah, Senin (8/6/2015)
“Permasalahannya yang ngajicuma kaset dan memang kalau orang ngajidapat pahala, tetapi kalau kaset yang diputar, dapat pahala tidak? Ini menjadi polusi suara,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu.
Pantauan bimasislam, pemutaran kaset rekaman pembacaan ayat suci al-Quran sebelum waktu shalat memang telah menjadi pembahasan sejak lama. Di Cinere, Depok, Jawa Barat, seorang warga non Muslim yang sudah terlanjur membeli sebidang tanah, meninggalkan begitu saja tanah yang dibelinya saat mengetahui di dekat lokasi terdapat sejumlah mushalla. “Tanpa bermaksud menyinggung, saya sebetulnya merasa terganggu dengan pemutaran kaset bacaan pengajian saat tidur.” Ujarnya. Pria itu pun meninggalkan tanah tersebut meskipun telah membayar uang muka senilai Rp 50 juta.
Terkait fenomena ini, pada tahun 1978 Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama, telah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau mushalla. Ini aturan-aturannya:
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.
Instruksi tersebut juga mengatur tata cara pemasangan pengeras suara baik suara saat shalat lima waktu, shalat Jumat, juga saat takbir, tarhim, dan Ramadhan. (ska/foto:ilustrasi)”
——
(4) http://bit.ly/2NsgfGY, Hukum Online: “Senin, 27 August 2018
Belum Ada Perubahan Instruksi Dirjen Bimas Islam Soal Tuntunan Pengeras Suara Masjid
Dalam instruksi tersebut, pada dasarnya suara yang disalurkan keluar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu salat.
M. Agus Yozami 0
(foto)
Ilustrasi: HGW BERITA TERKAIT
Kasus yang dialami Meiliana terkait dugaan penistaan agama lantaran keberatan dengan pengeras suara azan, mendorong Kementerian Agama (Kemenag) untuk meminta jajarannya kembali mensosialisasikan aturan tentang penggunaan pengeras suara di masjid. Permintaan itu tertuang dalam Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor B.3940/DJ.III/HK.00.07/08/2018 tanggal 24 Agustus 2018.
Dikutip dari laman Kementerian Agama, Dirjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin menjelaskan bahwa aturan tentang tuntunan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan mushalla sudah ada sejak 1978. Aturan itu tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978.
“Hingga saat ini, belum ada perubahan,” kata Muhammadiyah Amin di Jakarta, Jumat (24/8) lalu.
Menurutnya, Instruksi Dirjen Bimas Islam ini antara lain menjelaskan tentang keuntungan dan kerugian penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan mushalla. Salah satu keuntungannya adalah sasaran penyampaian dakwah dapat lebih luas. Namun, penggunaan pengeras suara juga bisa mengganggu orang yang sedang beristirahat atau penyelenggaraan upacara keagamaan. “Untuk itu, diperlukan aturan dan itu sudah terbit sejak 1978 lalu,” tegasnya.
Dalam instruksi tersebut, lanjut mantan Rektor IAIN Gorontalo ini, dipaparkan bahwa pada dasarnya suara yang disalurkan keluar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu salat.
“Pada dasarnya suara yang disalurkan keluar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu salat. Demikian juga sholat dan doa pada dasarnya hanya untuk kepentingan jemaah ke dalam dan tidak perlu ditujukan keluar untuk tidak melanggar ketentuan syariah yang melarang bersuara keras dalam salat dan doa. Sedangkan dzikir pada dasarnya adalah ibadah individu langsung dengan Allah SWT karena itu tidak perlu menggunakan pengeras suara baik kedalam atau keluar,” demikian Amin membacakan salinan instruksi.
Hal lain yang diatur dalam instruksi ini terkait waktu penggunaan pengeras suara. Amin mengatakan, instruksi Dirjen secara jelas dan rinci sudah mengatur waktu-waktu penggunaan pengeras suara. “Misalnya, pengeras suara bisa digunakan paling awal 15 menit sebelum waktu Salat Subuh, dan sebagainya,” jelas Muhammadiyah Amin.
Melaui surat edaran yang diterbitkan hari ini, Muhammadiyah Amin meminta Kanwil Kemenag untuk kembali mensosialisasikan instruksi Dirjen Bimas Islam 1978. “Kami meminta segenap jajaran, dapat mensosialisasikan kembali aturan tersebut,” katanya.
“Kami juga minta Kantor Urusan Agama (KUA) maupun penyuluh agama di seluruh Indonesia untuk ikut mensosialisasikannya,” tambah Amin.
Hal itu misalnya, dilakukan dengan menggandakan instruksi Dirjen tentang penggunaan pengeras suara pada masjid, langgar, dan mushalla lalu membagikannya kepada masyarakat sambil dijelaskan substansinya. Instruksi tersebut juga agar dijadikan sebagai bahan pembinaan keagamaan yang dilakukan kepada masyarakat.
Dengan disosialisasikan kembali aturan penggunaan pengeras suara, Muhammadiyah Amin berharap masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sama tentang aturan tersebut.
(infografik)
Sumber: Kementerian Agama
Seperti diketahui, kasus Meiliana asal Tanjung Balai, Sumatera Utara, cukup menyita perhatian masyarakat. Majelis hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Balai, menjatuhkan vonis kepada perempuan berusia 44 tahun itu selama 18 bulan penjara. Dia dinilai terbukti melakukan ujaran kebencian dan penodaan agama karena melanggar Pasal 156a KUHP. Meski demikian, kuasa hukum Meiliana akan mengajukan banding atas vonis tersebut.
Hal ini bermula dari keluhan Meiliana terkait kerasnya suara adzan di lingkungan dia tinggal. Akibat keluhannya itu memicu terjadinya kerusuhan, di mana sekelompok orang membakar dan merusak Wihara dan Klenteng di Tanjung Balai. Kejadian ini terjadi pada 29 Juli 2016 silam.
Sebagaimana dikutip dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Medan, perkara bernomor registrasi: PDM-05/TBALAI/05/2018 itu menyebutkan, bahwa Meiliana telah ditahan sejak 30 Mei 2018 hingga sekarang.
Vonis terhadap Meliana sempat mengundang kritik. Salah satunya datang dari Ketua PBNU bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan, Robikin Emhas. Menurutnya, seseorang yang mengatakan suara adzan terlalu keras tidak dapat disebut telah menista agama.
“Saya tidak melihat ungkapan suara adzan terlalu keras sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu,” kata Robikin sebagaimana dikutip dari Antara, Selasa (21/8).
Sebagai muslim, lanjut Robikin, pendapat seperti itu sewajarnya ditempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural. Menurut dia, lahirnya pasal penodaan agama antara lain untuk menjaga harmoni sosial yang disebabkan karena perbedaan golongan atau perbedaan agama/keyakinan yang dianut.
“Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat,” kata Robikin yang juga advokat konstitusi itu.”
——
(5) http://bit.ly/2O2uMWS, Detik: “Kamis 22 Februari 2018, 08:15 WIB
Guru Penyebar Hoax Soal Megawati Minta Adzan Ditiadakan Ditangkap
Mei Amelia R – detikNews
(foto)
Foto: Pelaku penyebar berita hoax soal Megawati meminta pemerintah menghentikan adzan, Sandi, ditangkap polisi. Fotografer: Istimewa
Jakarta – Tim Subdit I Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap penyebar berita hoax, Sandi Ferdian (34). Pelaku yang seorang guru itu menyebarkan berita hoax soal Megawati Soekarnoputri yang meminta pemerintah menghentikan adzan.
“Tersangka menyebarkan berita bohong dan konten SARA melalui grup WA dan sosial media,” kata Kasubdit I Direktorat Siber Bareskrim Polri, Kombes Irwan Anwar, kepada detikcom, Kamis (22/2/2018).
Tersangka ditangkap pada Rabu 21 Februari 2018 di Jl KS Tubun, Taman Asri Baradatu, Kecamatan Way Kanan, Lampung. “Tersangka bekerja sebagai guru,” imbuhnya.
“Dia pemilik akun FB ‘Sandi SiKumbang yang menyebarkan berita: MEGA WATI MINTA PEMERINTAH TIADAKAN ADZAN DI MASJID, KARNA SUARANYA BERISIK,” sambungnya.
Sementara dia juga memposting tulisan berkonten SARA di akunnya itu. “Selamatkan anggota kami. Anggota PKI adalah anggota paling suci sedangkan Islam itu sesat,” kata Irwan menirukan postingan tersebut.
Postingan itu menjadi viral di media sosial. Bahkan, tersangka mengklaim bahwa berita itu didapatnya dari sebuah media nasional. “Menurut keterangan tersangka berita tersebut didapat dari “Media Indonesia” dan di copy berita selanjutnya disebarkan melalui akun FB “Sandi SiKumbang”,” terangnya.
Dari tersangka polisi menyita satu buah HP berikut SIM Card dan fotocopy resi KTP. Tersangka dijerat dengan Pasal 14 ayat 2 Undang Undang Republik Indonesia No 1 tahun 1946 dan Pasal 45 A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 16 Jo pasal 4 huruf b angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
(mei/aan)”.
======
Sumber: https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/773970492935488/