Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan, pasien gangguan jiwa yang memiliki hak pilih, diwajibkan menyertakan surat keterangan dokter saat akan memberikan suaranya.
======
Kategori : KLARIFIKASI
======
Sumber : Media Sosial Facebook dan Pertanyaan dari Anggota Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoaks (FAFHH) di Facebook
======
Penjelasan :
Beberapa hari belakangan ini marak di media sosial soal kabar pasien pengidap gangguan jiwa boleh ikut memilih dalam Pemilu 2019. Kabar tersebut bermula dari berita yang dimuat oleh media daring Poskotanews.com pada tanggal 12 November yang diberi judul “Pasien Gangguan Jiwa Mulai Didata untuk Pemilu” http://poskotanews.com/…/pasien-gangguan-jiwa-mulai-didata…/.
Dari pemberitaan tersebut banyak masyarakat bertanya-tanya kebenaran dari kabar tersebut.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menjelaskan mekanisme pemungutan suara bagi pemilik suara di Pemilu 2019, yang memiliki gangguan kejiwaan.
Arief Budiman mengatakan, pasien gangguan jiwa yang memiliki hak pilih, diwajibkan menyertakan surat keterangan dokter saat akan memberikan suaranya.
“Hal tersebut sudah ada regulasinya, untuk kondisi tersebut yang paling dibutuhkan adalah surat keterangan dokter yang menyatakan seseorang sanggup menggunakan hak pilih, sepanjang tak mengganggu bisa memilih, kalau mengganggu ya tidak bisa,” jelas Arief Budiman, seusai menjadi pembicara dalam Koordinasi Nasional KPU di Ecovention Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (17/11/2018).
Arief Budiman menegaskan, mekanisme untuk pemilih dengan kondisi seperti itu sangat beragam, tergantung gangguan jiwa yang dialami dan kondisi masing-masing lokasi.
“Tetap boleh memilih, karena tidak semua yang terganggu kondisinya tidak bisa menentukan pilihan, ada gangguan yang tak pengaruhi kemampuan gunakan hak pilih,” jelasnya.
“Mekanismenya juga beragam, disesuaikan dengan masing-masing lokasi, yang penting surat dokter tadi,” sambung Arief Budiman.
Arief Budiman mengatakan, pihaknya siap menerima laporan dari masyarakat untuk mengakomodasi pemilih dengan kebutuhan khusus seperti itu.
“Prosesnya masih terus berjalan, karena kondisi pemilih seperti itu berbeda. Bisa saja kondisi sekarang berbeda dengan lima bulan mendatang. Sementara ini, pemilih dengan kondisi yang memenuhi syarat kami masukkan dalam daftar pemilih,” terangnya.
Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin mengatakan para pengidap gangguan jiwa yang telah telah berusia 17 tahun tetap harus didata oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sedangkan apakah mereka memiliki hak suara atau tidak, hal tersebut ditentukan oleh rekomendasi dokter kemudian.
“Kalau ada keputusan dokter dan mereka dianggap disabilitas berat, dia hilang hak pilih, tidak bisa menggunakan hak pilih,” kata Afif di gedung Kemendagri, Jakarta, Rabu, 21 November 2018.
Afif menambahkan, bila gangguan jiwa masih bisa direkomedasikan dokter, maka masih memiliki hak pilih. Dengan cara didampingi sesuai dengan peraturan KPU.
“Mereka bisa didampingi. Jadi jangan sampai orang dikeluarkan duluan sebelum dimasukkan data, tapi orang ini dimasukkan dulu baru dikeluarkan. Jadi bukan ditafsirkan berat dulu,” jelasnya.
Afif mengungkapkan, jumlah masyarakat yang mengidap gangguan jiwa dan berpotensi mempunyai hak pilih tidak lah terlalu besar. “Sekitar 5.000an,” ujarnya.
Namun, meski jumlahnya kecil mereka tetap warga negara yang mempunyai hak pilih dan harus dilindungi hak pilihnya. “Semangat ini kan kembali ke pasal hak pilih sebagai hak dasar. Disabilitas itu kan tidak hanya fisik, mental juga,” katanya.
Selain itu, menurutnya, KPU harus terus memperbaiki diri, dengan memberikan fasilitas pelayanan bagi para kaum difabel untuk memberikan hak suara dalam pemilu.
“Yang lain juga semakin terfasilitasi, yang tunanetra semakin baiklah, ada namanya braille template. Orientasi di pelatihan penyelenggara juga ada mainstream disabilitas. TPS yang mudah dijangkau, kalau ini sudah menjadi pandangan penyelenggara ini akan memudahkan semua orang,” tuturnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016 lalu telah mengabulkan sebagian gugatan uji materi tentang syarat pemilih dalam UU Pilkada No.8/2015 pasal 57 ayat 3 huruf a, yang berbunyi ‘pemilih harus memuhi syarat tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya’.
MK menilai frasa ‘tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya’ tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mengalami gangguan ingatan permanen. Artinya, frasa ‘gangguan jiwa’ sangat luas seperti stres, paranoid, fobia yang tidak termasuk ‘gila’. Karena dalam pasal 57 tersebut tidak dirinci tentang gangguan jiwa yang dimaksud. Padahal selama ini stigma yang ada di masyarakat, gangguan jiwa adalah ‘gila’.
Keputusan MK tersebut sudah jelas, bahwa pengidap gangguan jiwa sangat luas dan harus dibedakan dengan pengidap ‘gila’. MK mengeluarkan keputusan tersebut untuk menghindari kesan diskriminatif bagi pengidap gangguan jiwa.
Referensi :
http://wartakota.tribunnews.com/…/pemilih-yang-punya-ganggu…
https://www.viva.co.id/…/1096268-pengidap-gangguan-jiwa-bis…
http://poskotanews.com/…/menyoal-hak-politik-pasien-ganggu…/