Anak DN Aidit ada lima orang yang terdiri dari dua perempuan dan tiga laki-laki, yakni Ibarruri Putri Alam, Ilya Aidit, Iwan Aidit, Ilham Aidit dan Irfan Aidit. Sedangkan, Dita Indah Sari merupakan anak dari pasangan Adjidar Ascha dan Magdalena Willy F Firnandus. Tuduhan Dita Indah Sari sebagai bagian dari Gerwani PKI berasal dari tulisan Alfian Tanjung yang pada dasarnya kurang memiliki pijakan data dan fakta secara jelas.

 

=====

 

Kategori: Disinformasi

 

=====

 

Sumber: Pertanyaan Anggota FAFHH (@Benni Eka Poetra) dan Media Sosial Facebook

 

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=328044071338527&set=a.325597504916517&type=3&fref=gs&dti=177295885936288&hc_location=group

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=120462255606378&set=a.107653893553881&type=3

 

=====

 

Narasi:

 

(1) Sumatera Utara WASPADA !!!

Anak AIDIT nyaleg ANAK PKI DITA INDAH SARI GERWANI MUDA.

 

(2) Anak PKI nyaleg pake kendaraan PKB

Jangan sampai dicoblos

 

=====

 

Penjelasan Lengkap:

 

Di media sosial Facebook tersebar sebuah ajakan untuk tidak memilih Calon Legislatif Dapil Sumut 1 dari PKB, Dita Indah Sari. Pada postingan yang tersebar itu, alasan untuk tidak memilih Dita lantaran dirinya merupakan anak dari DN Aidit dan anak PKI. Namun, informasi itu kiranya keliru.

 

Setelah dilakukan penelusuran, anak dari DN Aidit ada lima orang yang terdiri dari dua perempuan dan tiga laki-laki. Kelima anak DN Aidit tersebut ialah Ibarruri Putri Alam, Ilya Aidit, Iwan Aidit, Ilham Aidit dan Irfan Aidit.

 

Dari kelima anak DN Aidit itu, hanya Ilham dan Irfan Aidit yang tinggal di Indonesia. Namun, Irfan telah meninggal dunia karena sakit. Lantaran hal tersebut, otomatis anak DN Aidit yang tinggal di Indonesia hanyalah Ilham Aidit. Sementara, tiga anak DN Aidit lainnya tinggal dan sudah menjadi warga negara di negara tempat mereka tinggal.

 

Berikut cuplikan wawancara Jawapos dengan Ilham Aidit pada tahun 2017 terkait kabar anak-anak DN Aidit:

 

[…] JawaPos.com – Ketua Umum Partai Komunis Indonesia (PKI) Dipa Nusantara Aidit diketahui memiliki lima orang anak. Mereka adalah Ibarruri Putri Alam, Ilya Aidit, Iwan Aidit, Ilham Aidit dan Irfan Aidit.

 

Dari kelima anak DN Aidit, hanya Ilham yang tinggal di Indonesia. Tiga lainnya diketahui sudah menjadi warga negara lain. Sementara kembaran Ilham, Irfan, telah meninggal dunia karena sakit.

 

Secara khusus kepada Jawapos.com, Ilham menceritakan seputar lika-liku perjalanan para saudaranya.

 

“Yang berada di Indonesia dan anak Aidit satu-satunya yang di Indonesia cuma saya (Ilham),” ujar Ilham saat ditemui di kediamannya kawasan Bandung, Jawa Barat.

 

Sementara sang kakak Iba, Ilya dan Iwan memilih menjadi ‎warga negara asing (WNA) Perancis dan Kanada.

 

Dengan santainya, Ilham menceritakan sang kakak bagaimana memilih menjadi WNA. Obrolan sempat terhenti sebentar karena Ilham ingin menyalakan rokok yang telah dipegangnya.

 

Cerita dimulai dari dua kakak perempuannya Iba dan Ilya yang menjadi WNA Perancis. Alkisah dua kakaknya sejak umur 11 tahun dan kelas 4 SD sudah berada di Moscow untuk sekolah.

 

Kebetulan sang ayah DN Aidit memiliki akses ke Moscow sehingga dua anaknya mudah mendapatkan beasiswa.

 

Namun pada tahun 1971 terjadi keretakan hubungan antara Moscow dengan Tiongkok dalam garis politik. Sehingga Moscow tidak ingin memberikan beasiswa bagi anak Indonesia dan anak PKI.

 

“Di Moscow sudah malas mengurusi orang-orang Indonesia,” katanya.

 

Saat itu, pemerintah‎ Tiongkok pun mengambil alih dan memutuskan membawa anak-anak Indonesia. Di Tingkok kemudian anak-anak Indonesia di tempatkan di suatu daerah dengan kamp besar. Di sana terhampar ladang luas dan anak Indonesia disuruh mengelola lahan tersebut.

 

“Mereka mulai belajar pertanian dan hidupnya tidak membebani keuangan negara Tiongkok,” ungkapnya.

 

Kemudian pada tahun 1981 negara-negara Eropa mulai membuka diri dan menerima mantan anak PKI untuk bisa bersekolah. Mayoritas anak- anak PKI memilih tinggal di Belanda, Namun Iba dan Ilya bersama dengan Sobron Aidit (kakak DN Aidit) memutuskan pindah ke Perancis.

 

Di kota mode itu, mereka bertiga mendapatkan uang dari partai sosialis. Sehingga mereka memutuskan untuk membuka restoran. Sementara Iba dan Ilya melanjutkan sekolah kedokteran di Perancis.

 

“Sampai sekarang restoran itu masih ada, dan dahulu restoran itu sempat dimusuhi oleh KBRI Indonesia, dan restoran itu kemudian sukses dan digemari banyak orang,” ungkapnya.

 

Setelah itu sang kakak Iba dan Ilya memutuskan menjadi WNA Perancis. Iba mendapatkan suami orang Indonesia yang dahulu sempat bersekolah belajar di Moscow dan Ilya menikah dengan WNA Perancis.

 

Pria dua anak ini melanjutkan ceritanya, untuk sang kakak Iwan dia akhirnya memutuskan menjadi WNA Kanada pada tahun 2007.

 

Ilham menceritakan awal mula sang kakak menjadi WNA. Saat itu sang kakak bekerja di perusahaan minyak milik perusahaan Amerika Serikat yang ada di Indonesia.

 

Namun pada 1987 pada saat itu ada bersih-bersih yang dilakukan pemerintah, bahwa anak-anak PKI tidak boleh menjadi PNS dan apabila ada anak PKI di perusahaan swasta milik asing. Maka si perusahaan harus melakukan pemecatan.

 

“Kakak saya sudah menempati jabatan strategis, ada empat pimpinan tiga diantaranya bule (WNA) dan satu Iwan,” katanya.

 

“Dia sempat marah, coba bayangin putra Indonesia tidak boleh bekerja di negaranya sendiri,” tambahnya.

 

Kemudian setelah itu, pada tahun 1993 Iwan memutuskan bersekolah lagi di Amerika Serikat. Namun saat ingin memperpanjang paspornya.

 

Kedutaan besar tidak mengembalikan paspornya. Iwan selalu meminta tapi Kedutaan Besar selalu memiliki alasan macam-macam.

 

“Iwan sudah tahu paspor ditahan, karena ada yang ingin menghantam Iwan di luar negari,” ungkapnya.

 

Kemudian, pada tahun 1997 Iwan memutuskan pindah ke Kanada, karena ada peluang kerja yang menjanjikan. Temannya pun selalu merayu Iwan untuk bisa menjadi WNA di Kanada.

 

Namun Iwan selalu menolak, dan masih ingin menjadi WNI.

 

Tapi saat tahun 1998 dia berharap bisa pulang ke Indonesia, namun lagi-lagi dia dipersulit dan tidak bisa kembali ke negaranya sendiri.

 

Kemudian barulah tahun 2006 Iwan kecewa karena tidak bisa pulang ke Indonesia. Dia memutuskan untuk menjadi warga negara Kanada.

 

Apalagi saat itu pemerintah Kanada memberikan kemudahan kepada Iwan.

 

“Jadi sampai tahun 2007 Iwan resmi bergabung dengan Kanada,” tuturnya.

 

Lebih lanjut Ilham menambahkan, tiga kakaknya setiap tahunnya selalu pulang ke Indonesia. Bahkan ada yang menginap di rumahnya untuk bisa berjalan-jalan.

 

“Sering jalan-jalan ke Indonesia setiap tahunnya,” pungkasnya. […]

 

Dari penjelasan Ilham dalam cuplikan tersebut, sudah dapat dipahami bahwa Dita Indah Sari bukanlah anak dari DN Aidit. Klaim Dita sebagai anak DN Aidit adalah tidak benar.

 

Berdasarkan artikel profil dari tirto.id, diketahui bahwa Dita Indah Sari merupakan anak dari pasangan Adjidar Ascha dan Magdalena Willy F Firnandus. Ia lahir pada 30 Desember 1972 di Medan, Sumatera Utara. Sepanjang perjalanan kariernya, Dita memang dikenal sebagai aktivis hak asasi manusia (HAM) dan buruh. Berikut cuplikan profil yang dilansir dari tirto.id:

 

[…] Dita Indah Sari dikenal sebagai seorang aktivis pejuang demokrasi dan HAM di Indonesia. Dita Indah Sari merupakan perempuan asli Medan, terlahir dari pasangan Adjidar Ascha dan Magdalena Willy F Firnandus.

 

Dita Indah Sari memperoleh pendidikan dasar di Medan dan mulai menapaki ibu kota Jakarta saat ia masuk SMA. Ia melanjutkan pendidikan perguruan tinggi dengan mengambil jurusan hukum di Universitas Indonesia. Bidang ini membuatnya mengenal dan mempelajari lebih dalam mengenai demokrasi dan keadilan sosial.

 

Dia aktif di kampus dan mendirikan Forum Belajar Bebas. Di dalam kelompok ini ia dan teman-temannya mempelajari dengan cara berdiskusi secara progresif mengenai persoalan demokrasi dan keadilan sosial.

 

Dari kelompok studi itu pula, ia mulai memiliki konsen kasus untuk diperjuangkan yakni permasalahan buruh. Dita Indah Sari kemudian menjadi sosok organisator buruh di wilayah Tangerang, Bogor, dan Pluit sejak tahun 1993. Tahun 1994, ia bersama teman-teman seperjuangannya mendirikan Partai Rakyat Demokratik. Pada era itu dia tak takut untuk memobilisasi kaum buruh untuk berdemo meminta kenaikan upah dan kehidupan layak.

 

Pada bulan Juli tahun 1996, dia ditangkap ketika sedang memimpin demonstrasi di Tandes, Surabaya. Dia didakwa hukuman delapan tahun penjara karena dituding melakukan makar. Dita sempat mendekam di Lapas Wanita Malang dan Lapas Wanita Tangerang pada periode tahun 1997-1998.

 

Dia bebas setelah Soeharto lengser. Dia memperoleh amnesti dari Presiden Habibie pada tahun 1999. Berkat semangatnya dalam memperjuangkan kaum buruh, Dita memperoleh banyak penghargaan, diantaranya Ramon Magsaysay Award tahun 2001 dan Reebok Human Rights Award tahun 2002.

 

Namun penghargaan dari Reebok itu dia tampik karena Reebok merupakan salah satu perusahaan sepatu besar di dunia yang tidak berpihak kepada kesejahteraan kaum buruh. […]

 

Perihal tuduhan Dita sebagai Gerwani PKI pernah dibahas dalam postingan Dedy Helsyanto di FAFHH. Tuduhan Dita sebagai bagian dari PKI berasal dari tulisan Alfian Tanjung. Dalam tulisannya, tuduhan itu tidak disertakan dengan bukti data dan fakta yang lengkap. Untuk lebih jelasnya, bisa membaca ke sumber postingan Dedy Helsyanto di sini:

 

https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/530205067312033/

 

Selain itu, pada wawancara Dita dengan CNNIndonesia, ia sempat menceritakan bahwa orang tuanya sempat memprotes kegiatan sebagai aktivis, apalagi ketika dirinya dicap sebagai komunis. Dita menceritakan bahwa kedua orang tuanya tidak senang dan menentang pilihan ia sebagai seorang aktivis. Berikut cuplikannya:

 

[…] Disebut komunis dan dipenjara tentu membuat orangtua Dita cemas bukan main. “Mereka enggak happy dengan keadaan saya, perempuan tanpa penghasilan. Hidup ‘tanpa tujuan.’ ‘Tujuanmu apa? Mau jatuhkan Suharto? Itu bukan sebuah profesi,’” ujar Dita menirukan protes orangtuanya.

 

Meski ditentang keluarga, Dita berkukuh. Dia percaya yang ia lakukan benar dan tak pernah menyesal menjadi pejuang hak-hak buruh. “Rakyat butuh makan dan demokrasi. Itu tuntutan yang semua orang bisa memahami kebenarannya. Walau takut, jalan terus saja,” ujarnya.

 

Keluarga besar dan orang-orang sekitar mulai menjauhi Dita dan keluarga intinya. Tekanan demi tekanan jadi salah satu pemicu ibu Dita terserang stroke dan akhirnya wafat. Meski begitu, Dita masih merasa beruntung karena ayah dan kakaknya tak pernah menyalahkan dia. Keduanya tetap merawat Dita hingga masa hukumannya usai. […]

 

(artikel selengkapnya bisa dibaca di link yang ada id bagian referensi)

 

Dari berbagai penjelasan tersebut, maka klaim bahwa Dita Indah Sari anak dari DN Aidit tidak benar. Selain itu, klaim bahwa Dita merupakan bagian dari PKI, baik itu sebagai Gerwani PKI modern atau anggota aktif PKI juga tidak terbukti dan tidak ada fakta yang jelas. Dengan demikian, isu tentang Dita yang tersebar di media sosial merupakan disinformasi.

 

=====

 

Referensi:

 

https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/770941823238355/

https://www.jawapos.com/nasional/humaniora/30/09/2017/ilham-aidit-ungkap-kehidupan-3-saudaranya-di-luar-negeri

https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/530205067312033/

https://tirto.id/m/dita-indah-sari-ck

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160518172757-20-131713/pahit-kisah-dita-sari-dipenjara-dituduh-subversif-komunis