Yusril Ihza Mahendra: “”Presiden petahana, Jokowi atau siapa pun, demi kepentingan bangsa dan negara, tidak perlu berhenti atau cuti. Berbagai meme yang hanya mengutip sepotong UU Nomor 42 Tahun 2008, padahal UU tersebut sudah tidak berlaku lagi, adalah meme yang menyesatkan dan berbahaya bagi keselamatan bangsa dan negara, khususnya dalam menyongsong Pemilu serentak tahun 2019 yang akan datang,” kata dia.”, selengkapnya di bagian PENJELASAN dan REFERENSI.
======
KATEGORI
Disinformasi.
======
SUMBER
(1) Pertanyaan dari salah satu anggota FAFHH.
——
(2) http://bit.ly/2x1OjAc, post oleh akun “Oddyoesto Permana” (facebook.com/dodgoesper), sudah dibagikan 2.393 kali per tangkapan layar dibuat.
======
NARASI
“SiOwie …Mulyono …Herbertus bukan Presiden lagi …Dia Harus mengundurkan diri”.
======
PENJELASAN
(1) http://bit.ly/2rhTadC / http://bit.ly/2MxVN7S, First Draft News: “Konten yang Salah
Ketika konten yang asli dipadankan dengan konteks informasi yang salah”.
——
(2) Berita Satu: “Yusril: Jokowi Tidak Perlu Berhenti atau Cuti Ketika Jadi Petahana”, selengkapnya di (1) bagian REFERENSI.
——
(3) Republika: “Yusril: Jokowi tak Perlu Berhenti atau Cuti Selama Nyapres”, selengkapnya di (2) bagian REFERENSI.
——
(4) Detik: “Yusril: Presiden Tak Perlu Cuti atau Mundur Saat Nyapres Lagi”, selengkapnya di (3) bagian REFERENSI.
======
REFERENSI
(1) http://bit.ly/2oYCWEC, Berita Satu: “Yusril: Jokowi Tidak Perlu Berhenti atau Cuti Ketika Jadi Petahana
(foto)
Calon Presiden petahana Joko Widodo (kiri), bersama calon wakil presiden KH Ma’ruf Amin, memberikan keterangan pers di Posko Pemenangan Cemara, Jakarta, 7 September 2018. ( Foto: SP/Joanito De Saojoao / SP/Joanito De Saojoao )
> Jika presiden vakum maka tidak ada lagi yang bisa mengatakan negara dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya.
> Ketentuan ini berlaku bagi semua presiden di Indonesia yang menjadi petahana, bukan hanya untuk Jokowi.
Yustinus Paat / WBP Minggu, 9 September 2018 | 14:49 WIB
Jakarta – Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo yang menjadi petahana dalam Pilpres 2019 tidak ada kewajiban untuk cuti atau mengundurkan diri. Menurut Yusril, ketentuan ini berlaku bagi semua presiden di Indonesia yang menjadi petahana, bukan hanya untuk Jokowi.
“Pengaturan tentang keharusan mundur atau cuti itu tidak ada di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya dalam bab yang mengatur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini tidak saja berlaku bagi Presiden Jokowi, tetapi juga bagi siapa saja yang menjadi Presiden petahana di negara kita,” kata Yusril di Jakarta, Minggu (9/9).
Dalam Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, kata Yusril, diatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden wajib mundur dari jabatannya. Namun, lanjut dia, ketentuan itu tidak berlaku bagi Presiden dan Wakil Presiden sebagai petahana. “Hal yang sama diatur juga dalam Pasal 170 UU Nomor 7 Tahun 2017,” tandas dia.
Di media sosial kini beredar copy Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2018 itu dan disertai kata-kata “Jokowi Sudah Sah Bukan Presiden Indonesia dan Harus Mundur Sekarang Juga”. Padahal, menurut Yusril, UU Nomor 42 Tahun 2008 itu sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU Pemilu yang diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2017.
“Tidak adanya ketentuan Presiden dan Wapres petahana untuk berhenti atau cuti itu adalah aturan yang benar dilihat dari sudut Hukum Tata Negara. Sebab, jika diatur demikian akan terjadi kerumitan yang membawa implikasi kepada stabilitas politik dan pemerintahan di negara ini,” jelas dia.
Dia memberi contoh, jika presiden petahana berhenti setahun sebelum masa jabatannya berakhir, maka presiden wajib digantikan oleh wakil presiden sampai akhir masa jabatannya. Untuk itu, diperlukan Sidang Istimewa MPR untuk melantik wapres menjadi presiden.
“Bagaimana jika wapres sama-sama menjadi petahana bersama dengan presiden, atau wapres maju sebagai capres, maka kedua-duanya harus berhenti secara bersamaan. Kalau ini terjadi, maka Menhan, Mendagri dan Menlu (triumvirat) akan membentuk Presidium Pemerintahan Sementara. Dalam waktu 30 hari triumvirat wajib mempersiapkan Sidang Istimewa MPR untuk memilih Presiden dan Wapres yang baru,” ungkap dia.
Yusril menilai jika hal tersebut terjadi setiap lima tahun, maka bukan mustahil akan terjadi kerawanan politik di negara. Menurut dia, kerawanan itu bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. “Negara itu tidak boleh vakum kepemimpinan karena bisa menimbulkan keadaan kritis yang sulit diatasi,” tandas dia.
Dia mengatakan, jika presiden vakum maka tidak ada lagi yang bisa mengatakan negara dalam keadaan darurat atau keadaan bahaya. Pasalnya, yang berwewenang menyatakan negara dalam keadaan bahaya hanya Presiden. Wakil Presiden apalagi Triumvirat, tidak punya kewenangan melakukan hal itu.
“Presiden petahana, Jokowi atau siapa pun, demi kepentingan bangsa dan negara, tidak perlu berhenti atau cuti. Berbagai meme yang hanya mengutip sepotong UU Nomor 42 Tahun 2008, padahal UU tersebut sudah tidak berlaku lagi, adalah meme yang menyesatkan dan berbahaya bagi keselamatan bangsa dan negara, khususnya dalam menyongsong Pemilu serentak tahun 2019 yang akan datang,” kata dia.
Sumber: BeritaSatu.com”.
——
(2) http://bit.ly/2MkX1OJ, Republika: “Yusril: Jokowi tak Perlu Berhenti atau Cuti Selama Nyapres
Sabtu 08 September 2018 22:20 WIB
Rep: Amri Amrullah/ Red: Ratna Puspita
(foto)
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra tiba di Hotel Menara Peninsula Jakarta untuk menghadiri Ijtima’ Ulama GNPF, Jumat (27/7).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Ketentuan mengundurkan diri tidak berlaku bagi presiden yang mencalonkan kembali.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai Presiden Joko Widodo yang mencalonkan kembali tidak memiliki kewajiban untuk cuti atau mengundurkan diri. Sebab, menurut dia, pengaturan tentang keharusan mundur atau cuti itu tidak ada di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya dalam bab yang mengatur pencalonan presiden dan wakil presiden.
“Hal ini tidak saja berlaku bagi Presiden Jokowi, tetapi juga bagi siapa saja yang menjadi Presiden pejawat di negara kita,” kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (8/9).
Ia menjelaskan, Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden memang mengatur pengunduran diri pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon presiden. Namun, ia mengatakan, ketentuan itu tidak berlaku bagi presiden yang mencalonkan kembali.
Di media sosial, beredar salinan Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2018 dengan disertai pernyataan: “Jokowi Sudah Sah Bukan Presiden Indonesia dan Harus Mundur Sekarang Juga”. Padahal, menurut mantan sekretaris negara era Gus Dur ini, UU Nomor 42 Tahun 2008 itu sudah dicabut.
Artinya, aturan itu dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berlaku sejak 16 Agustus 2017. Karena itu, Yusril, menegaskan tidak adanya ketentuan presiden dan wakil presiden pejawat untuk berhenti atau cuti merupakan aturan yang benar dilihat dari sudut hukum tata negara.
“Sebab, jika diatur demikian akan terjadi kerumitan yang membawa implikasi kepada stabilitas politik dan pemerintahan di negara ini,” kata dia.
Dia mencontohkan jika capres pejawat berhenti sebelum masa jabatannya berakhir maka presiden wajib digantikan oleh wakil presiden sampai akhir masa jabatannya. Untuk itu, perlu Sidang Istimewa MPR untuk melantik wapres menjadi presiden.
“Bagaimana jika wapres sama-sama menjadi pejawat bersama dengan Presiden, atau Wapres maju sebagai capres, maka keduanya harus berhenti secara bersamaan,” kata Yusril.
Kalau ini terjadi, maka menhan, mendagri, dan menlu (triumvirat) akan membentuk Presidium Pemerintahan Sementara. Dalam waktu 30 hari, triumvirat wajib mempersiapkan SI MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
“Kalau hal seperti di atas terjadi setiap lima tahun, maka bukan mustahil akan terjadi kerawanan politik di negara kita ini,” kata dia.
Kerawanan itu bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Negara itu tidak boleh vakum kepemimpinan karena bisa menimbulkan keadaan kritis yang sulit diatasi.
Ia menyebut seumpama jabatan Presiden vakum, terjadi keadaan darurat atau keadaan bahaya. “Siapa yang berwenang menyatakan negara dalam keadaan bahaya? Hanya Presiden yang bisa melakukan itu. Wakil Presiden apalagi Triumvirat, tidak punya kewenangan melakukannya,” kata Yusril.
Karena itu, Yusril berpendapat presiden yang juga menjadi pejawat, baik Jokowi atau siapapun, demi kepentingan bangsa dan negara tidak perlu berhenti atau cuti. Ia menambahkan meme yang mengutip sepotong UU Nomor 42 Tahun 2008 yang sudah tidak berlaku lagi itu sebagai informasi menyesatkan.
“Sangat berbahaya, khususnya dalam menyongsong Pemilu serentak tahun 2019 yang akan datang.””
——
(3) http://bit.ly/2QlLBO5, Detik: “Minggu 09 September 2018, 19:00 WIB
Yusril: Presiden Tak Perlu Cuti atau Mundur Saat Nyapres Lagi
Marlinda Oktavia Erwanti – detikNews
(foto)
Foto: Ari Saputra
Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, tak ada kewajiban bagi presiden yang kembali maju pada pilpres untuk cuti atau mengundurkan diri dari jabatannya. Undang-undang, katanya, tak mengatur keharusan bagi presiden petahana untuk cuti atau mundur.
“Bagi Presiden yang menjadi petahana tidak ada kewajiban untuk cuti atau mengundurkan diri. Pengaturan tentang keharusan mundur atau cuti itu tidak ada di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya dalam Bab yang mengatur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini tidak saja berlaku bagi Presiden Jokowi, tetapi juga bagi siapa saja yang menjadi Presiden petahana di negara kita,” ujar Yusril, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (9/9/2018).
Yusril mengatakan hal tersebut sebagai respon atas ramainya meme di media sosial yang beredar mengenai UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Khususnya pada pasal 6, yang mengatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden wajib mundur dari jabatannya, disertai kata-kata, “Jokowi Sudah Sah Bukan Presiden Indonesia dan Harus Mundur Sekarang Juga.”
Yusril menjelaskan, dalam pasal itu memang diatur bahwa pejabat negara yang mencalonkan diri sebagai calon Presiden wajib mundur dari jabatannya. Namun ketentuan itu sudah tidak berlaku bagi Presiden dan Wakil Presiden sebagai petahana.
“Hal yang sama diatur juga dalam pasal 170 UU Nomor 7 Tahun 2017. Di media sosial kini beredar copy Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2018 itu disertai kata-kata ‘Jokowi Sudah Sah Bukan Presiden Indonesia dan Harus Mundur Sekarang Juga’. Padahal UU Nomor 42 Tahun 2008 itu sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2017,” tutur Ketum Partai Bulan Bintang (PBB) itu.
Menurut Yusril, tidak adanya ketentuan Presiden dan Wapres petahana untuk berhenti atau cuti itu sudah benar dalam perspektif Hukum Tata Negara. Sebab, jika aturan tersebut akan menimbulkan kerumitan yang membawa implikasi kepada stabilitas politik dan pemerintahan Indonesia.
Yusril memberikan contoh, jika presiden petahana berhenti selama satu tahun sebelum masa jabatannya berakhir, maka presiden wajib digantikan oleh wakil presiden sampai akhir masa jabatannya. Hal itu, kata Yusril, memerlukan sidang istimewa MPR untuk melantik wapres menjadi presiden.
“Bagaimana jika Wapres sama-sama menjadi petahana bersama dengan Presiden, atau wapres maju sebagai Capres, maka kedua-duanya harus berhenti secara bersamaan. Kalau ini terjadi, maka Menhan, Mendagri dan Menlu (triumvirat) akan membentuk Presidium Pemerintahan Sementara. Dalam waktu 30 hari triumvirat wajib mempersiapkan SI MPR untuk memilih Presiden dan Wapres yang baru,” kata Yusril.
Apalagi, kata Yusril, jika hal seperti di atas terjadi setiap lima tahun. Maka, bukan mustahil akan terjadi kerawanan politik di Indonesia.
“Kerawanan itu bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Negara itu tidak boleh vakum kepemimpinan karena bisa menimbulkan keadaan kritis yang sulit diatasi. Andai ketika jabatan Presiden vakum, terjadi keadaan darurat atau keadaan bahaya, siapa yang berwenang menyatakan negara dalam keadaan bahaya? Hanya Presiden yang bisa melakukan itu. Wakil Presiden apalagi Triumvirat, tidak punya kewenangan melakukannya,” jelasnya.
Dengan demikian, menurut Yusril, demi kepentingan bangsa dan negara, Jokowi tidak perlu berhenti atau cuti.
“Berbagai meme yang hanya mengutip sepotong UU Nomor 42 Tahun 2008, padahal UU tersebut sudah tidak berlaku lagi, adalah meme yang menyesatkan dan berbahaya bagi keselamatan bangsa dan negara, khususnya dalam menyongsong Pemilu serentak tahun 2019 yang akan datang,” pungkasnya.
(mae/bag)”.
======
Sumber: https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/745426099123261/