Sabtu, 20 Desember 2014 04:50 WIB
(foto)
Sejumlah pekerja mengerjakan jalan penghubung Banjarnegara-Dieng yang tertimbun pasca bencana tanah longsor di Dusun Jemblung, Banjarnegara, 17 Desember 2014. Pekerja telah mengeruk timbunan tanah setebal empat hingga enam meter. TEMPO/Aris Andrianto
TEMPO.CO , Jakarta: Bencana alam di Indonesia dikategorikan dalam tingkat nasional ada lokal. “Bencana alam dikatakan bencana nasional salah satu syaratnya bila pemerintahan daerah itu tidak bisa berfungsi lagi,” kata Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian Sosial, Andi Zaenal Abidin Dulung, kepada Tempo pada, Jumat, 18 Desember 2014.
Andi mencontohkan bencana alam tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004. Saat itu, pemerintah daerah tidak bisa menjalankan fungsinya lagi. Maka pemerintah pusat akan mengirimkan petugasnya untuk membantu jalannya pemerintahan daerah.
Contoh lain terjadi pada bencana alam Gunung Sinabung yang terjadi di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Pada kasus ini, kata Andi, sebenarnya fungsi pemerintahan berjalan baik. “Tapi pemdanya sudah tidak sanggup menangani akibat bencana alam itu,” kata Andi.
Saat itu, pemerintah daerah Sumatera Utara mengirim surat ke presiden meminta bantuan penanganan bencana itu. “Bencana Sinabung adalah bencana lokal sebelum presiden mengumumkan status itu menjadi nasional,” kata Andi.
Untuk bencana longsor di Banjarnegara, Andi mengatakan bencana yang baru terjadi pada pekan lalu itu masih dikategorikan bencana lokal. “Pemerintah daerah masih bisa menangani bencana itu.”
MITRA TARIGAN”.
——
(2) http://bit.ly/2MKh8Hr, Tempo: “Pemerintah Putuskan Gempa Lombok Bukan Bencana Nasional
Reporter: Ahmad Faiz Ibnu Sani
Editor: Ninis Chairunnisa
Jumat, 10 Agustus 2018 18:13 WIB
(foto)
Foto aerial pencarian korban di bawah reruntuhan Masjid Jamiul Jamaah, yang rusak akibat gempa bumi, di Bangsal, Lombok Utara, NTB, Rabu, 8 Agustus 2018. Lebih dari 200 ribu orang mengungsi akibat terdampak gempa. ANTARA/Zabur Karuru
TEMPO.CO, Jakarta – Pemerintah memutuskan tidak menaikkan status bencana gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat sebagai bencana nasional. Penanganan tetap diserahkan pemerintah daerah namun sebagai gantinya akan dikeluarkan peraturan presiden tentang dukungan dari pemerintah pusat.
“Akan disiapkan payung perpres untuk itu. Walaupun bencana ini tetap ditangani daerah, tapi seluruh dukungan, support, akan maksimal diberikan pusat,” kata Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi seusai rapat dengan Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat, 10 Agustus 2018.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan hingga saat ini, pemerintah sudah mencairkan Rp 37-38 miliar sesuai permintaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang digunakan sebagai dana tanggap darurat. Mayoritas uang tersebut dipakai untuk memberikan makanan, minuman, dan obat-obatan. “Itu kan baru emergency awal, jadi tinggal tunggu BNPB saja,” kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Utama BNPB Dody Ruswandi mengatakan pihaknya secara umum memiliki dana siap pakai (on call) jika terjadi bencana sebesar Rp 700 miliar. Uang tersebut kini sudah terpakai setengahnya.
Namun menurut dia, masih ada dana cadangan yang tersedia di Kementerian Keuangan sebesar Rp 4 triliun. Dody mengatakan uang tersebut setiap saat bisa dicairkan. “Anytime ada, menteri keuangan siap,” ujarnya.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menuturkan pemerintah memberikan santunan bagi warga yang rumahnya rusak akibat gempa Lombok dengan jumlah yang bervariasi. Jika rumah mereka rusak ringan mendapat Rp 10 juta, sedang Rp 25 juta, dan berat Rp 50 juta.
Masyarakat penerima bantuan ini, kata Basuki, wajib menerapkan model konstruksi tahan gempa jika hendak membangun kembali rumahnya. “Itu harus, kalau enggak itu mengulangi kesalahan yang lalu dengan konstruksi yang tidak tahan gempa,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam pengantar rapatnya memerintahkan agar evakuasi para korban tetap menjadi prioritas. Selain itu, ia meminta agar warga mendapat bantuan menyeluruh. “Saya minta untuk dipastikan ketersediaan logistik, tenda, selimut, makanan terutama makanan untuk bayi, obat-obatan, pasokan air, serta yang berkaitan dengan listrik,” kata dia.
Berdasarkan catatan BNPB, jumlah korban tewas akibat gempa Lombok telah mencapai 321 orang. Sementara itu, jumlah pengungsi akibat gempa mencapai 270.168 orang yang tersebar di ribuan titik.”
——
(3) http://bit.ly/2nzxY0t, Jawa Pos: “BNPB: Tak Perlu Status Bencana Nasional dan Bantuan Asing Untuk Lombok
BERITA DI SEKITAR ANDA 06/08/2018, 18:08 WIB | Editor: Bintang Pradewo
(foto)
Gempa 7 SR membuat banyak bangunan di Lombok, NTB, hancur. (AFP)
JawaPos.com – Gempa bumi berkekuatan 7 SR yang mengguncang Lombok Minggu (5/8) malam memang menjadi sorotan dunia. Apalagi, lebih dari 91 orang dinyatakan meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka akibat terkena reruntuhan bangunan.
Penyelamatan dan penanganan terhadap korban gempa hingga sore ini masih terus dilakukan. Ratusan wisatawan juga dievakuasi dari Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno walaupun kondisi sudah dinyatakan aman dan bebas dari tsunami.
Kendati demikian kata Kepala Pusat, Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, hingga sejauh ini pemerintah belum menetapkan gempa di Lombok sebagai bencana nasional. Menurutnya pun status tersebut tidak diperlukan mengingat pemerintah daerah setempat masih bisa beroperasi.
“Tidak perlu (status bencana nasional). Provinsi dan Kabupaten yang ada tidak lumpuh,” kata dia di Gedung BNPB, Jakarta, Senin (6/8).
Sementara itu dia menjelaskan, masa tanggap darurat berlaku sejak gempa 6,4 SR juga mengguncang Lombok pekan lalu. “Jadi kita melanjutkan tapi dengan penanganan lebih intensif dengan skala lebih besar,” tuturnya.
Pemerintah pusat katanya terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk penanganan para korban dan warga setempat. Sejumlah bantuan dikerahkan baik itu tenaga penyelamat, kesehatan, hingga logistik dan air bersih.
Hingga kini pun pemerintah juga belum meminta bantuan internasional. “Potensi sumber daya nasional masih mencukupi tangani gempa. Tapi apabila negara sahabat, negara asing mau memberi bantuan, silakan,” pungkas Sutopo.
(dna/JPC)”.
——
(4) http://bit.ly/2P5HwN9, Detik: “Rabu 30 September 2015, 08:02 WIB
BNPB: Kabut Asap Tidak Penuhi Semua Syarat Penetapan Status Bencana Nasional
Ferdinan – detikNews
(foto)
Kabut Asap di Palembang (Foto: REUTERS/Beawiharta)
Jakarta – Pemerintah hingga saat ini belum menetapkan kabut asap sebagai bencana nasional. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut kabut asap tidak memenuhi seluruh kriteria yang menjadi dasar penetapan status bencana nasional.
“Penetapan status dan tingkatan bencana seperti yang diamanatkan UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam bentuk Peraturan Presiden belum ditetapkan karena dalam praktiknya sulit,” ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho saat dikonfirmasi, Rabu (30/9/2015).
Sutopo menjelaskan, status dan tingkatan bencana didasarkan pada indikator yang meliputi a) jumlah korban, b) kerugian harta benda, c) kerusakan sarana dan prasarana, d) cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan e) dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
“Dalam praktiknya hal itu sulit. Misal bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan apakah memenuhi untuk dinyatakan sebagai bencana nasional? Indikator a, b, dan C tidak memenuhi syarat tersebut,” papar Sutopo.
Begitu juga seperti longsor yang terjadi Banjarnegara pada awal tahun 2015 yang menyebabkan 110 orang meninggal seperti dicontohkan Sutopo.
“Indikator b,c,d,e juga tidak memenuhi. Atau bencana erupsi Sinabung yang banyak pihak menginginkan sebagai bencana nasional. Ternyata hanya memenuhi indikator b dan e. Itu hanya terjadi di beberapa kecamatan dalam satu kabupaten. Itulah yang menyebabkan status dan tingkatan bencana nasional sulit dibuat,” tutur Sutopo.
Menurut dia, presiden yang berwenang menetapkan status bencana nasional setelah memperoleh masukan dari BNPB dan kementerian lembaga terkait.
“Dalam praktiknya Indonesia baru sekali menyatakan bencana nasional yaitu saat tsunami Aceh 2004. Itu terjadi karena semua indikator memenuhi. Dan yang paling penting adalah bagaimana keberfungsian dan potensi daerah yang ada saat terjadi bencana, apakah hancur semua atau kah masih utuh,” sambung Sutopo.
(fdn/fdn)”
======
Sumber: https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/722170181448853/