Tulisan tersebut adalah gabungan dari beberapa tulisan oleh Sumanto Al Qurtuby di akun beliau, selengkapnya di bagian PENJELASAN dan REFERENSI.

======

KATEGORI

Klarifikasi.

======

SUMBER

Pertanyaan dari salah satu anggota FAFHH.

======

PENJELASAN

(1) Profesor Sumanto Al Qurtuby adalah Dosen Antropologi dan Kepala General Studies Scientific Research King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi, selengkapnya di poin (5) dan (6) bagian REFERENSI.

——

(2) Mengenai tangkapan layar cuitan dari akun Twitter Prisia Nasution, cuitan tersebut sudah tidak bisa diakses dan yang bersangkutan sudah meminta maaf. Selengkapnya di poin (7) bagian REFERENSI.

======

REFERENSI

(1) http://bit.ly/2LYfFw7, “Teman2 Facebookers, utk menemani hari Minggu anda, silakan baca kolom terbaru sy di Gatra berjudul “Ironi Hubungan Arab, Barat, dan Indonesia”. Kolom ini bermula dr corat-coret singkat sy di FB yg mendapat “like” & di-share oleh beribu-ribu pengguna FB & medsos. Setiap coretanku di FB yg disukai (atau mungkin dibenci) oleh bny org, sy putuskan utk menulisnya dlm bentuk artikel spy lbh sistematis, akademik, dan diakses oleh lbh bny org.

Seperti judulnya, artikel ini membahas ttg “cinta segitiga” yg tak berujung antara Indonesia (yg pro-Arab), Arab (khususnya Teluk), dan Barat (khususnya AS). Para “cheerleaders” Arab di Indonesia “cinta mati” dg Arab, sementara Arab sendiri “cinta mati” dg Barat, dan Barat sndr tdk pernah cinta mati dg Arab, apalagi sama Indonesia. Barat “cinta” Arab Teluk (Saudi, Kuwait, Qatar, UEA, Bahrain, Oman) krn ada minyak & negara2 kaya shg Barat bisa bisnis dg leluasa disini. Ada sekitar 22 “negara Arab” knp hny “Arab Teluk” yg dilirik Barat? Jawabnya mudah: karena negara2 Arab lain sangat miskin jd tdk menguntungkan. Para “Arab lovers” di Indonesia mati2an “mengtuankan” Arab, sementara Arab sndr tdk pernah menggubris mrk. Sadarkah kalian dg ini? Di akhir tulisan sy sarankan, jadilah diri sendiri, “menjadi Indonesia”, tdk perlu “menjadi Barat” atau “menjadi Arab”. Kalau tdk setuju dg pendapatku ini, silakan tulis di media saja sbg tanggapan, tdk perlu memaki-maki saya. Selamat berhari Minggu…”

——

(2) http://bit.ly/2yfuWqg, gatra.com: “Ironi Hubungan Arab, Barat, dan Indonesia

Dani Hamdani
18-12-2015 21:32

(foto)
Sumanto AlQurtubi (Dok GATRA)

Jakarta, GATRAnews – Hubungan Arab (khususnya Arab Teluk), Barat (khususnya Amerika Serikat), dan Indonesia (khususnya yang pro-Arab) itu menarik, unik, dan lucu. Relasi mereka ibarat ”cinta segitiga” yang tak berujung. Negara-negara Arab, khususnya Arab Teluk (Saudi, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Oman), yang kaya kandungan minyak dan mineral, adalah kawasan ”sangat Barat” dan jelas-jelas ”pro-Amerika” (dan Inggris).

Di kawasan itu, dengan mudah dijumpai aneka jenis produk Barat: makanan, minuman, pakaian, furnitur, elektronik, komputer, otomotif, dan lain sebagainya. Mal-mal megah dibangun, antara lain, untuk menampung beragam produk Barat tadi.

Berbagai perusahan Barat di segala bidang mempunyai cabang di sini. Sangat gampang dijumpai berbagai restoran cepat saji seperti Pizza Hut, McDonald’s, KFC, Subway, Burger King, Dunkin Donuts, dan lainnya, tidak hanya di mal, bahkan di kampus-kampus.

Di Arab Saudi saja, menurut data Euromonitor International, total penjualan fastfood pada 2014 mencapai SAR 22 milyar (sekitar Rp 80 trilyun). Tidak hanya restoran cepat saji, restauran-resaturan populer di Amerika juga menjamur di Arab Teluk, sebut saja Hamburgini, Terrace Grill, Applebees’s, Taco Bell, Planet Hollywood, Steak House, dan Buffalo Kings.

Warga Arab menjadi konsumen setia. Mereka, selain gemar sembahyang dan membangun masjid, juga hobi makan dan shopping. Warga Arab, terutama Arab perkotaan, sangat ”modern” dan hedonistik.

Teluk Arab jadi Negara Mekanik

Perusahaan-perusahaan besar (seperti Aramco di Saudi) dan kampus-kampus juga menggunakan komputer dan software (asli, bukan bajakan, karena membajak adalah haram) produk Amerika (Dell dan Microsoft, misalnya).

Berbagai universitas beken di Amerika juga membuka cabang di Teluk (selain Saudi, yang hingga kini belum membolehkan), seperti Georgetown University, Texas A&M University, New York University, dan Carnegie Melon University.

Saudi sendiri, di bawah bendera King Abdullah Scholarship, mengirim lebih dari 150.000 warganya untuk menuntut ilmu di berbagai bidang di kampus-kampus top di Barat, khususnya Amerika, Kanada, Eropa, dan Australia, dari program strata 1 sampai doktoral.

Tidak ada satu pun yang dikirim ke Indonesia! Sementara itu, (sebagian) warga Indonesia memimpikan belajar di Tanah Arab.

Tidak seperti ”kawasan Arab” lain yang rata-rata miskin dan terbelakang (seperti Aljazair, Maroko, Yaman, Tunisia, Sudan, Mauritania, Djibouti, Comoros, Yordania, Irak, dan Suriah), Arab Teluk adalah kawasan industri metropolitan yang sangat modern, kosmopolitan, berteknologi, dan kaya, sehingga menjadi lahan subur berbagai produk Barat.

Karena statusnya sebagai kawasan industri metropolitan, maka negara-negara Arab Teluk membutuhkan berbagai tenaga kerja dari luar (khususnya, India, Pakistan, Bangladesh, Filipina, Afrika, serta sejumlah negara-negara Arab miskin) untuk memenuhi kebutuhan pasar yang membludak.

Karena banyak kaum migran non-Arab di sini, maka bahasa Inggris menjadi “bahasa kedua” sebagai medium komunikasi di Arab Teluk. Bukan hanya itu, Bahasa Inggris juga menjadi ”bahasa elite” karena banyak pekerjaan akademik dan non-akademik yang membutuhkan skill ”bahasa bule” ini.

Kondisi Arab Teluk dewasa ini seolah membenarkan tesis klasik Daniel Lerner, ”Mecca and Mechanization” dalam The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East (1958).

Lerner mengusulkan (kepada Pemerintah Amerika Serikat) bahwa proses pemodernan dan ”pembangunanisme” Arab dan Timur Tengah adalah jalan terbaik untuk membendung laju komunisme Soviet yang dulu mewabah di kawasan itu.

Kini, bisa dilihat, gelombang serbuan modernisasi, industrialisasi, dan teknologisasi ala Barat telah menyulap Arab Teluk menjadi ”negara mekanik” yang bertumpu pada mesin, industri, dan teknologi.

Bukan lagi sebagai pusat spiritual-kebudayaan-keilmuan yang dulu dikagumi banyak orang. Bahkan, Mekkah sendiri kini telah menjelma menjadi area industri dan kawasan metropolitan mini yang ”melayani” kapitalisme global.

Warga Arab Inferior pada Bule

”Kecintaan” Arab terhadap Barat bukan hanya ditunjukkan dengan kecintaan mereka terhadap aneka produk Barat, melainkan juga dibuktikan dengan kebijakan politik-pemerintahan dan perilaku masyarakat Arab yang memberi keistimewaan terhadap warga Barat (sebut saja ”bule”).

Sudah menjadi ”rahasia umum”, jika warga Barat, khususnya yang bekerja di sektor industri (dan bahkan di perguruan tinggi), mendapat gaji tinggi serta fasilitas, tunjangan, dan bonus lumayan (bahkan kadang lebih mewah dari warga Arab sendiri).

Warga bule juga mendapat ”perlakuan khusus” jika ada masalah, seperti pelanggaran lalu lintas. Jika ada orang bule mendapat tilang di jalan raya, polisi akan mempermudah penyelesaiannya. Tapi jika non-bule yang melanggar, akan rumit urusannya.

Perbedaan perlakukan ini terjadi karena ada asumsi di kalangan Arab bahwa jika ada non-bule yang membawa mobil, itu berarti mobil majikannya, jadi harus ditahan sampai sang ”majikan” membayar denda dan datang ke kantor polisi untuk mengambil mobilnya. Sementara itu, kalau bule tidak perlu, karena dalam mindset mereka, itu pasti mobilnya sendiri.

Mayoritas warga Arab juga sangat hormat sekaligus inferior terhadap bule. Saya sering jalan-jalan dengan kolega bule ke tempat pameran, mal, bank, dan lain-lain, dan saya sering dianggap sebagai ”jongos” teman-temanku tadi.

Kebanyakan universitas di Arab Teluk hanya mau merekrut tenaga pengajar alumnus kampus-kampus di Amerika dan Eropa. Kaum akademik Arab masih beranggapan kalau ”sarjana bule” lebih berkualitas ketimbang non-bule sampai sarjana non-bule tadi mampu membuktikan performa prima akademiknya.

Sementara itu, para sarjana Islam Arab sering menganggap muslim non-Arab sebagai ”mualaf” yang tidak paham tradisi, sejarah, seluk-beluk, dan wacana keislaman. Padahal, banyak ulama Nusantara yang dulu sangat dikagumi kapasitas keilmuannya di tanah Haramain.

Bagi mayoritas Arab di area Teluk, warga non-bule–dari mana pun negaranya, apa pun agamanya–adalah ”kelas kuli”, bukan ”komunitas intelektual”. Sedangkan warga bule –dari mana pun asalnya, apa pun agamanya, apa pun status sosial mereka– akan dianggap sebagai ”wong elite,” ”kaum berilmu”, dan ”kelas majikan”.

Warga Arab baru akan menaruh rasa hormat tehadap non-bule setelah mengetahui identitas mereka sebagai ”tenaga halus”, bukan buruh atau pekerja kasar.

Ironi Pro Arab dan Anti Barat

Berdasarkan sejumlah fakta sosial diatas, terasa ironis sekaligus menggelikan melihat perilaku para fans Arab ”yang lugu” di Indonesia. Simak saja, misalnya, mereka begitu mati-matian ”meng-tuan-kan” Arab, sementara Arab sendiri tidak menggubris mereka.

Mereka begitu ”memuja” para sarjana agama Arab, sedangkan mereka sendiri menganggap penduduk Indonesia sebagai ”mualaf” atau ”Islam nominal” yang miskin ilmu dan pengetahuan keislaman sehingga perlu ”diceramahi” dan ”diluruskan” akidah dan pemahaman keagamaannya.

Menariknya lagi, para “cheerleaders” Arab di Indonesia juga mati-matian anti-Barat karena dianggap sebagai ”negara kafir”, sementara Arab sendiri mati-matian membela Barat sebagai simbol kemodernan dan kemajuan.

Uniknya, meskipun warga Arab itu pro-Barat, masyarakat Barat menganggap Arab memusuhi Barat, padahal rezim pemerintahan mereka (khususnya AS dan Inggris) sangat jelas ”pro-Arab” (Teluk).

Masyarakat Barat menganggap Arab itu anti-Barat terutama, sejak mega-tragedi terorisme memilukan pada 11 September 2001 yang menghancurkan gedung World Trade Center dan Pentagon lantaran 20 pembajak pesawat yang menabrakkan pesawatnya itu warga Arab, khususnya Saudi.

Padahal, hanya sejumlah kelompok kecil ”salafi ekstrem” Arab saja yang anti-Barat karena dianggap sebagai pengotor budaya Arab dan nilai-nilai fundamental Islam. Meskipun kaum ”salafi ekstrem” ini membenci kebudayaan imaterial Barat, mereka juga penikmat produk-produk material Barat seperti warga Arab kebanyakan.

Ada alasan kuat kenapa rezim politik Sunni Arab Teluk (dengan Saudi sebagai komandonya) itu pro-Barat (wa bil khusus Amerika), yaitu tidak lain agar Amerika memberikan ”proteksi politik” dan jaminan keamanan teritori Teluk dari potensi ancaman aneksasi rezim Syiah Iran.

Amerika tentu saja senang ”digaet” Arab Teluk karena produksi senjatanya laku keras (Arab Teluk adalah konsumen senjata produksi Amerika terbesar di dunia!) Aneka bisnis Amerika di Teluk juga lancar.

Menjadi Diri Kita Sendiri

Dengan ilustrasi di atas, bukan berarti saya anti-Arab atau anti-Barat, karena saya mempunyai banyak teman, kolega dan murid-murid dari ”dua dunia” ini yang sangat baik. Saya juga tahu, ada warga Arab yang sangat ramah dengan non-Arab dan tidak etnosentis menyikapi kebudayaan asing.

Saya bukan pro-Arab atau pro-Barat, meskipun saya banyak mengambil hal-hal positif dari keduanya. Meskipun pernah dididik di Amerika dan pernah mengajar di sana dan kini menjadi ”guru” di Saudi, saya tetaplah saya, seorang Jawa kampung.

Daripada ”menjadi Arab” atau ”menjadi Barat”, akan jauh lebih bijak ”menjadi diri kita sendiri” dengan tetap menghargai dan menjunjung tinggi warisan khazanah kebijaksanaan, nilai tadisi, dan kebudayaan lokal yang kaya-raya warisan para leluhur. Apalah artinya kita mati-matian membela bangsa lain dengan memusuhi bangsa sendiri? Wallahu ‘alam bi-shawab.

Sumanto Al Qurtuby

Dosen antropologi dan Kepala General Studies Scientific Research King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi.

KOLOM, Majalah GATRA, Edisi no 7 tahun XXII, Beredar Kamis, 17 Desember 2015

Dapatkan di toko buku, toko majalah digital (Scoop, Wayang) atau pesan antar di GATRAKIOSK

Dani Hamdani
18-12-2015 21:32″.

——

(3) http://bit.ly/2JMJTW8, “Saya melihat hubungan antara Arab (khususnya Arab Teluk), Barat (khususnya Amerika), dan Indonesia (khususnya yg pro-Arab) itu unik, menarik, dan lucu. Negara2 Arab, khususnya Teluk itu “sangat Barat” dan jelas2 pro-Amerika (dan Inggris). Hampir semua produk2 Barat dari ecek-ecek (semacam restoran fast foods) sampai yg berkelas & bermerk utk kalangan berduit, semua ada di kawasan ini. Mall-mall megah dibangun, al, utk menampung produk2 Barat td. Warga Arab mjd konsumen setia krn memang mrk hobi shopping (selain sembahyang).

Orang2 Barat jg mendapat “perlakuan spesial” disini, khsusnya yg bekerja di sektor industri (gaji tinggi, fasilitas melimpah). Mayoritas org2 Arab jg sangat hormat & inferior dg org2 Barat. Saya sering jalan bareng bersama “kolega bule”-ku ke tempat pameran dlsb, dan mrk menganggap saya adl “jongosnya”. Bagi org2 Arab, non-bule darimanapun asalnya apapun agama mrk (Islam kek, Kristen kek) adl “kelas buruh” sementara org bule–sekere & sebego apapun mrk, beragama / bkn–dianggap “kelas elit”. Mrk baru menaruh rasa hormat, kalau sdh tahu “siapa kita”.

Sejumlah universitas2 beken di Amerika jg membuka cabang di Arab Teluk, selain Saudi, (Georgetown, New York Univ, Texas A & M, Carnegie Melon Univ, dll). Di bawah bendera King Abdullah Scholarship, Saudi telah mengririm lebih dr 150 ribu warganya utk belajar di kampus2 Barat, khususnya Amerika, Kanada & Eropa (jg Aussie). Tdk ada satu pun yg disuruh belajar ke Indonesia!! Sementara (sebagian) warga Indo memimpikan belajar di Arab.

Lucunya, para fans Arab di Indonesia, mrk mati2an meng-tuan-kan Arab, sementara Arab sndr tidak “menggubris” mrk. Para “cheerleaders” Arab ini juga mati2an anti-Barat padahal org2 Arab mati2an membela Barat. Saya bukan anti-Arab atau anti-Barat karena teman2 baikku banyak skl dari “dua dunia” ini. Sy jg bukan pro-Arab atau pro-Barat. Saya adl sy yg tetap org kampung Jawa. Daripada “menjadi Arab” atau “menjadi Barat”, akan lebih baik jika kita menjadi “diri kita sendiri” yg tetap menghargai warisan tradisi & kebudayaan leluhur kita…”

——

(4) http://bit.ly/2t92W1U, “Belum lama ini sy mengadakan survei dg responden para mahasiswaku (sekitar 100 mhs) yg mayoritas beretnik Arab & Saudi. Survei ini bersifat “confidential” dan identitas mahasiswa tdk diketahui. Salah satu pertanyaan dlm survei adl: “Agar lebih Islami, apakah masyarakat Muslim non-Arab harus meniru & mencontoh masyarakat Arab & menjalankan kebudayaan mrk?” Jawaban mrk, sekitar 60% bilang “tidak”, 12% bilang “ya”, selebihnya “mungkin” & “tidak tahu”.

Saya tdk tahu secara pasti apakah jawaban mrk itu ada kaitannya dg “doktrin2” pentingnya menghargai pluralitas budaya, agama, & masyarakat yg selama ini sy “ajarkan” di kelas atau mungkin karena pengaruh pendidikan yg semakin meningkat atau gelombang modernisasi & “internetisasi” yg mewabah di kawasan Arab.

Apapun faktor2nya yg jelas hasil survei ini “sedikit menggembirakan” (setidaknya buatku), meskipun masih bny tantangan cukup besar menghadang di depan mata. Bukan suatu hal yg mustahal jika kelak kaum Muslim Arab & Saudi khususnya bisa menjadi lebih maju, terbuka, dan toleran. Dan bukan suatu hal yg mustahal pula jika kelak kaum Muslim Indonesia justru “nyungsep” menjadi umat yg bebal, tertutup, dan intoleran.

Di saat masyarakat Arab mulai lelah dg konflik & kekerasan serta mulai menyadari pentingnya keragaman & hidup bertoleransi, sejumlah kaum Muslim di Indonesia justru menjadi umat intoleran dan anti-kemajemukan…”

——

(5) “King Fahd University of Petroleum and Minerals

http://www.kfupm.edu.sa/

177 Departments”, selengkapnya di http://bit.ly/2t2lOAo.

——

(6) “Sumanto Al Qurtuby

King Fahd University of Petroleum and Minerals, General Studies, Faculty Member | Peace and Conflict Studies +4

1,537 Followers | 796 Following | 3,237 Total Views

PAPERS

Religious Women for Peace and Reconciliation in Contemporary Indonesia”, selengkapnya di http://bit.ly/2tfdoFj.

——

(7) http://bit.ly/2JXdLP3, bintang.com: “Usai Berkicau tentang Arab, Prisia Nasution Minta Maaf

Regina Novanda
23 Jan 2017, 08:49 WIB

(foto)
“Iya, doakan saya yang baik-baik yah,” kata peraih Piala Citra untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik FFI 2011 lewat film Sang Penari. (Andy Masela/Bintang.com)

Bintang.com, Jakarta Keberadaan media sosial dimanfaatkan Prisia Nasution untuk mengutarakan pendapatnya. Baru-baru ini, pemain film Sang Penari itu menuliskan kicauan tentang Arab yang ternyata berhasil menjadi perbincangan hangat di kalangan pengguna jagat maya.

“Semua orang berpakaian seperti orang Arab, bendera dituliskan tulisan Arab, adat istiadat Arab, kenapa ngga pada pindah Arab aja ya?” tulis Prisia dalam akun Twitter @itsPrisia, Sabtu (21/1/2017).

(tangkapan layar)
Kicauan Prisia Nasution tentang Arab yang hebohkan netizen. (Twitter/itsPrisia)

Menurut Prisia, Indonesia sudah memiliki adat, tradisi, pakaian, bahasa serta bendera sendiri. Ia pun mempersilahkan orang-orang yang tidak menyukai Indonesia untuk pindah warga negara. Ditegaskan Prisia, orang yang menetap di Bumi Pertiwi haruslah orang yang cinta dengan Indonesia.

Aktris berusia 32 tahun ini pun meminta agar jangan hanya memanfaatkan Indonesia untuk mencari makan, tanpa mencintai negerinya. Prisia yang Muslim mengutarakan dirinya tak ingin agama Islam yang dianutnya dijelek-jelekan.

(foto)
Prisia Nasution (Deki Prayoga/bintang.com)

Di akhir kicauannya, Prisia menuliskan permohonan maafnya jika ada kata-kata yang menyinggung. Prisia hanya ingin mengutarakan isi hatinya tentang keadaan negeri Indonesia. Ia juga berharap Indonesia dengan kebinekaannya dapat saling toleransi.

“Selama Ini saya diam lihat keadaan walaupun saya geram. Saya Cuma mau keluarin apa yg saya rasa. Yang tersinggung maaf!” tulis Prisia Nasution.”

——

(8) http://bit.ly/2yjzNGZ, Page Facebook KataKita (@pageKataKita): “SEPUCUK SURAT DARI TEMAN DI ARAB SAUDI :*

Warta islami ~ Saya membuat tulisan ini, bukan untuk merendahkan bangsa saya, Indonesia tercinta.

Bukan pula menyerang negara Arab, khususnya Arab Saudi tempat di mana saya berdomisili saat ini.

Tujuan tulisan singkat saya ini untuk *memberikan wawasan / kesadaran* kepada teman-teman, kakak, dan adik-adik saya dan sesama saudara warga negara Indonesia di mana saja berada.

Agar bisa memilih dan memilah, mana yang bisa dijadikan panutan / pedoman, serta mana pula yang harus diwaspadai.

Harapan saya hanya satu :
Semoga Bangsa Indonesia selalu dirahmati oleh Allah Tuhan Alam Semesta, Pencipta langit dan bumi beserta segala isinya, dan anak-anak bangsa ini – termasuk saya – tidak menjadi bangsa yang inferior (rendah diri), tidak mudah kagum, dan tidak mudah menjadi beo.

Begini, saya melihat *hubungan antara Arab ( khususnya Arab Teluk ), Barat ( khususnya Amerika ), dan Indonesia ( khususnya yang mengagumi Arab ) itu unik, menarik, dan lucu !*

Negara-negara Arab, khususnya Teluk itu “sangat Barat” dan jelas2 pro-Amerika (dan Inggris).

Hampir semua produk2 Barat dari ecek-ecek (semacam restoran fast foods) sampai yg berkelas dan bermerk untuk kalangan berduit, semua ada di kawasan ini.

Mall-mall megah dibangun, a.l., untuk menampung produk-produk Barat tadi.

Warga Arab menjadi konsumen setia karena memang mereka hobi shopping
(bahkan terkadang lalai dengan sembahyang).

Orang-orang Barat juga mendapat “perlakuan spesial” disini, khususnya yang bekerja di sektor industri (gaji tinggi, fasilitas melimpah).

Mayoritas orang-orang Arab juga sangat hormat & inferior (rendah diri) terhadap orang-orang Barat.

Saya sering jalan bareng bersama “kolega bule”-ku ke tempat pameran barang-barang branded tsb, dan mereka menganggap saya adalah “jongosnya”.

*Bagi orang2 Arab, non-bule darimanapun asalnya apapun agama mereka adalah “Kelas Buruh”, sementara org bule, sekere & sebego apapun mereka, beragama atau tidak beragama, dianggap “kelas elit”.*

Mereka baru menaruh rasa hormat, kalau sudah tahu “siapa kita”.

Sejumlah universitas2 beken di Amerika juga membuka cabang di Arab Teluk, selain Saudi, (Georgetown, New York Univ, Texas A & M, Carnegie Melon Univ, dll).

Di bawah bendera King Abdullah Scholarship, Saudi telah mengirim lebih dari 150 ribu warganya untuk belajar di kampus-kampus Barat, khususnya Amerika, Kanada & Eropa (jg Aussie).

Tidak ada satu pun yang disuruh belajar ke Indonesia !
Sementara (sebagian) warga Indonesia memimpikan belajar di Arab Saudi.
Lucunya, para fans/penyembah Arab Saudi dan Arab-Arab lainnya di Indonesia, mereka mati-matian men-tuan-kan Arab, sementara Arab sendiri tidak “menggubris” mereka (penyembah Arab).

Para “cheerleaders/pengidola” Arab ini (para fans Arab di Indonesia),
juga mati2an anti-Barat padahal orang-orang Arab mati-matian membela Barat.

Kita bertutur memakai istilah bahasa mereka (akhi, ukhty, antum, dan berbagai istilah arab lainnya, padahal, mereka merendahkan kita). *Kita seolah gagal faham untuk membedakan antara Islam dan Arab.*
Islam menghargai kita sedangkan Arab menganggap kita ini bangsa budak.

Saya bukan anti-Arab atau anti-Barat karena teman-teman baikku banyak sekali dari “dua dunia” ini.

Saya juga bukan pro-Arab atau pro-Barat. Saya adalah saya yang tetap orang kampungan Jawa.

*Daripada “menjadi Arab” atau “menjadi Barat”, akan lebih baik jika kita menjadi “diri kita sendiri” yang tetap menghargai warisan tradisi dan kebudayaan leluhur kita.*

Itulah orang Saudi, mereka menganggap kecil terhadap orang Indonesia, di hotel, di kantor, bahkan mrk menyangka saya cuma tenaga profesional ecek ecek, mereka tanya gaji, disangka CUMA 2 ribu atau 3 ribu Real. (1 real = 3700)

Waktu saya bilang jumlah gaji saya, mereka baru tahu gaji saya sama dengan orang Amerika atau Inggris, dan mereka tanya kok bisa begitu.

Saya bilang, saya pernah training di Inggris dan di Amerika, dan ternyata gaji saya lebih besar dari gaji dokter Saudi.

Itulah kenyataannya, dan yang menggaji saya perusahaan di Abu Dhabi yang tidak menganggap rendah karyawannya berdasarkan kebangsaan atau Nationality profiling.

Mudah-mudahan pemerintah *tidak mengirim lagi TKI atau TKW sehingga mereka tidak menganggap orang Indonesia bangsa budak.*

Tetapi kirim tenaga terdidik, terutama yang menguasai bahasa Inggris.

Sekali lagi :

Saya bukan anti Arab dan juga bukan anti Barat – saya cuma orang Jawa, Indonesia – yang dipercaya sebagai orang yang bekerja sebagai tenaga ahli yang dibayar berdasarkan keahliannya.

Suatu hari, dan ini bukan untuk menyombongkan diri, saya merasa bangga ketika saya keluar dari sebuah hotel di Jeddah, saya dijemput oleh sopir orang Arab berasal dari Thaif.
Itu kebanggaan saya, karena biasanya yg jadi sopir itu orang Indonesia.

*Mudah-mudahan kita tidak jadi bangsa budak dan budak di antara bangsa lain.*

Belum lama ini sy mengadakan survei dg responden para mahasiswaku (sekitar 100 mahasiswa) yg mayoritas beretnik Arab & Saudi. Survei ini bersifat “confidential” dan identitas mahasiswa tdk diketahui. Salah satu pertanyaan dlm survei adl : *”Agar lebih Islami, apakah masyarakat Muslim non-Arab harus meniru* *& mencontoh masyarakat Arab & menjalankan kebudayaan mereka?”* Jawaban mrk, sekitar *60% bilang “tidak”, 12% bilang “ya”, selebihnya “mungkin” & “tidak tahu”.*

Saya tdk tahu secara pasti apakah jawaban mrk itu ada kaitannya dg “doktrin2” pentingnya menghargai pluralitas budaya, agama, & masyarakat yg selama ini sy “ajarkan” di kelas atau mungkin karena pengaruh pendidikan yg semakin meningkat atau gelombang modernisasi & “internetisasi” yg mewabah di kawasan Arab.

Apapun faktor2nya, yg jelas hasil survei ini “sedikit menggembirakan” (setidaknya buatku), meskipun masih banyak tantangan cukup besar menghadang di depan mata. Bukan suatu hal yg mustahal jika kelak kaum Muslim Arab & Saudi khususnya bisa menjadi lebih maju, terbuka, dan toleran. Dan bukan suatu hal yg mustahal pula jika kelak kaum Muslim Indonesia justru “nyungsep” menjadi umat yg bebal, tertutup, dan intoleran.

Di saat masyarakat Arab mulai lelah dg konflik & kekerasan serta mulai menyadari pentingnya keragaman & hidup bertoleransi, sejumlah kaum Muslim di Indonesia justru menjadi umat intoleran dan anti-kemajemukan…

( Sumanto Al Qurtuby, seorang professor Warga Negara Indonesia, dosen di King Fahd University for Petroleum and Gas, Arab Saudi.)

*silakan share”.

======

Sumber: https://web.facebook.com/groups/fafhh/permalink/660374887628383/