SUMBER
(1) Pertanyaan dari salah satu anggota FAFHH.
(2) https://goo.gl/7yWUAd, sudah disebarkan 2.438 kali ketika tangkapan layar dibuat.
(3) https://goo.gl/hp3XgC, akun-akun lain yang membagikan.
NARASI
“HARIAN KOMPAS UPERCUT JOKOWI. KEMATIAN BAYI BERANTAI DI PAPUA TERSEMBUNYI DIBALIK PENCITRAAN
Oleh: Natalius Pigai
Mungkin inilah kesempatan pertama pada Halaman Depan (Headline) Kompas, Media Mainstream Nasional merilis tragedi kemanusiaan di Papua berjudul “ Bencana Kesehatan di Asmat”. Itulah fakta berbicara, sehebat-hebatnya Harian Kompas menjadi pion pemerintah selama 3 tahun Jokowi memimpin negeri, namun hujan fakta tidak bisa bendung dengan payung pencitraan. … ” (Selengkapnya di poin (2) bagian REFERENSI).
PENJELASAN
(1) Natalius Pigai hanya mengambil foto halaman depan (Cover) koran tanpa menyertakan isinya, diganti dengan tulisan sendiri yang tidak sesuai dengan isi berita. Bahasan Kompas fokus ke topik “Bencana Kesehatan di Asmat”, tidak membahas lainnya seperti yang ditulis oleh yang bersangkutan.
.
(2) Kompas sudah memenuhi salah satu prinsip jurnalistik netral yaitu “Cover both sides” (Meliput dua sisi), dalam hal ini Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat,
* Di disi Pemerintah Daerah: “Pihak rumah sakit berupaya optimal merawat anak-anak itu, antara lain dengan memberikan makanan tambahan berupa biskuit khusus anak dan susu. Pasien juga mendapatkan cairan infus dan oksigen. Kondisi dan jumlah tempat tidur memadai. Ada tiga bangsal dan dua ruangan khusus untuk merawat pasien. Di setiap bangsal terdapat dua hingga tiga pasien. Adapun ruang khusus, yakni VIP dan HCU (high care unit), dihuni empat anak yang kondisi kesehatannya belum stabil.”
* Di sisi Pemerintah Pusat: “Kapasitas Pemerintah Kabupaten Asmat dalam menangani masalah gizi buruk dan campak perlu diperkuat. Termasuk pengelolaan anggaran, sumber daya manusia, dan penyaluran bantuan kesehatan, terutama bagi ibu hamil, bayi, dan anak-anak.
Hal itu dikatakan Menteri Kesehatan Nila Djuwita Anfasa Moeloek, Jumat di Jakarta, sebagaimana dimuat di Kompas.id. ”Papua, kan, sudah punya otsus (otonomi khusus). Jadi, kepala daerah setempat diharapkan bergerak terlebih dahulu,” katanya. Hal serupa disampaikan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia Yanuar Nugroho. Terkait masalah gizi buruk dan campak di Papua, Kementerian Kesehatan menjadi sektor pemimpin yang bertugas mengarahkan dan menuntun proses yang harus dilakukan. Namun, sesuai dengan implikasi dari kebijakan otonomi daerah, tanggung jawab awal harus dilakukan oleh pemda. ”Desentralisasi layanan ada pada pemda. Untuk kesehatan, sudah ada anggaran di APBD, termasuk alokasi tenaga kesehatan harus dilakukan oleh daerah,” katanya. Untuk itu, ujar Yanuar, kapasitas pemerintah daerah harus diperkuat, terutama dalam hal layanan dasar, termasuk kesehatan dan pendidikan. Dihubungi terpisah, Pembina Wilayah Provinsi Papua di Kemenkes, yang juga Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes Usman Sumantri, menyatakan, pihaknya masih menunggu konfirmasi dari tim di Papua. Jika dibutuhkan, pusat akan menyiapkan bantuan, baik secara teknis maupun peningkatan kebutuhan gizi.”
REFERENSI
(1) https://goo.gl/Nao61U, “Bencana Kesehatan di Asmat
Sebanyak 24 anak di Asmat meninggal akibat campak dan gizi buruk. Kapasitas pemerintah daerah harus diperkuat, terutama dalam hal layanan dasar, termasuk kesehatan.
Kompas 13 Jan 2018(FLO/DD04)
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Barnabas Berpit (3 tahun) dirawat di ruang High Care Unit RSUD Agats, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua, karena menderita campak dan gizi buruk, Jumat (12/1). Sepanjang Januari ini, RSUD Agats melayani 34 pasien rawat jalan dan 29 pasien rawat inap penderita campak.
AGATS, KOMPAS — Sebanyak 24 anak meninggal akibat kejadian luar biasa campak disertai gizi buruk di Kabupaten Asmat, Papua, dalam empat bulan terakhir. Jumlah korban bisa bertambah karena Pemerintah Kabupaten Asmat masih melakukan pendataan.
Berdasarkan pemantauan Kompas di Rumah Sakit Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Jumat (12/1), terdapat 12 anak berusia di bawah lima tahun (balita) dirawat. Tubuh mereka kurus dengan kondisi kesehatan belum stabil. Salah satu di antara mereka adalah Theresia Bewer (4), bocah asal Kampung Beritem, Distrik Agats. Berat badan Theresia cuma 10 kilogram. Ia terserang campak disertai radang paru-paru.
Pihak rumah sakit berupaya optimal merawat anak-anak itu, antara lain dengan memberikan makanan tambahan berupa biskuit khusus anak dan susu. Pasien juga mendapatkan cairan infus dan oksigen.
Kondisi dan jumlah tempat tidur memadai. Ada tiga bangsal dan dua ruangan khusus untuk merawat pasien. Di setiap bangsal terdapat dua hingga tiga pasien. Adapun ruang khusus, yakni VIP dan HCU (high care unit), dihuni empat anak yang kondisi kesehatannya belum stabil.
Martha Ponam (30), warga Distrik Pulau Tiga, menuturkan, dirinya telah kehilangan tiga anak akibat campak, Desember lalu. Saat ini, Martha mendampingi dua anaknya yang dirawat di RS Agats karena campak, yakni Yusuf (3) dan Balter (2).
Ibu dari tujuh anak itu mengatakan kesulitan membawa anaknya ke puskesmas di Nakai untuk imunisasi karena jaraknya jauh. Dengan kapal cepat, waktu tempuhnya dua jam.
Data 24 korban meninggal akibat kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk dihimpun dari laporan tokoh agama di Asmat dan tenaga medis RS Agats.
Pastor Hery Nahak dari Keuskupan Agats yang bertugas di sejumlah kampung Distrik Pulau Tiga mengungkapkan, dari 23 korban meninggal di distrik itu, 8 anak berasal dari Kampung Kapi dan 15 anak dari Kampung As dan Kampung Atat. ”Para korban berusia 1-3 tahun,” ujarnya. Satu anak meninggal di RS Agats.
Dokter di RS Agats, Carol Jaqueline, mengatakan, satu anak yang meninggal, Minggu (7/1), di rumah sakit itu karena gizi buruk. ”Ia meninggal karena terlambat mendapat penanganan medis,” katanya.
Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat Steven Langi mengatakan, ke-12 anak yang dirawat di RS Agats itu menderita campak dan gizi buruk serta penyakit lain, seperti tuberkulosis, radang paru-paru, dan malaria. ”Ada tiga anak yang terkena campak dan gizi buruk telah pulang dari rumah sakit,” ujarnya.
Ada lima distrik di pedalaman yang terserang campak dan gizi buruk, yakni Swator, Fayit, Pulau Tiga, Jetsy, dan Siret. Empat tim telah dikirim Pemkab Asmat ke lima distrik itu sejak Selasa (9/1). Selain memberikan bantuan pengobatan dan makanan, tim juga mendata jumlah korban.
Kepala Bidang Pencegahan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Papua Aaron Rumainum mengatakan, KLB campak terjadi di Asmat sejak Oktober 2017. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, sejak Oktober 2017 hingga Januari 2018, tercatat 171 anak dirawat inap dan 393 anak dirawat jalan di RS Agats karena terkena campak.
Perkuat kapasitas
Kapasitas Pemerintah Kabupaten Asmat dalam menangani masalah gizi buruk dan campak perlu diperkuat. Termasuk pengelolaan anggaran, sumber daya manusia, dan penyaluran bantuan kesehatan, terutama bagi ibu hamil, bayi, dan anak-anak.
Hal itu dikatakan Menteri Kesehatan Nila Djuwita Anfasa Moeloek, Jumat di Jakarta, sebagaimana dimuat di Kompas.id. ”Papua, kan, sudah punya otsus (otonomi khusus). Jadi, kepala daerah setempat diharapkan bergerak terlebih dahulu,” katanya.
Hal serupa disampaikan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia Yanuar Nugroho. Terkait masalah gizi buruk dan campak di Papua, Kementerian Kesehatan menjadi sektor pemimpin yang bertugas mengarahkan dan menuntun proses yang harus dilakukan. Namun, sesuai dengan implikasi dari kebijakan otonomi daerah, tanggung jawab awal harus dilakukan oleh pemda.
”Desentralisasi layanan ada pada pemda. Untuk kesehatan, sudah ada anggaran di APBD, termasuk alokasi tenaga kesehatan harus dilakukan oleh daerah,” katanya. Untuk itu, ujar Yanuar, kapasitas pemerintah daerah harus diperkuat, terutama dalam hal layanan dasar, termasuk kesehatan dan pendidikan.
Dihubungi terpisah, Pembina Wilayah Provinsi Papua di Kemenkes, yang juga Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes Usman Sumantri, menyatakan, pihaknya masih menunggu konfirmasi dari tim di Papua. Jika dibutuhkan, pusat akan menyiapkan bantuan, baik secara teknis maupun peningkatan kebutuhan gizi.
Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes Elizabeth Jane Soepardi mengakui, cakupan imunisasi campak untuk anak di Papua masih kecil. Data Kemenkes menunjukkan, cakupan imunisasi di Papua 46,1 persen terhitung sampai November 2017. Jumlah tersebut baru terdata dengan kelengkapan pelaporan sebesar 61 persen.
Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Pemkab Asmat, ada 8.395 anak balita di Asmat, 4.292 laki-laki dan 4.103 perempuan.”
.
(2) https://goo.gl/7yWUAd, “HARIAN KOMPAS UPERCUT JOKOWI. KEMATIAN BAYI BERANTAI DI PAPUA TERSEMBUNYI DIBALIK PENCITRAAN
Oleh: Natalius Pigai
Mungkin inilah kesempatan pertama pada Halaman Depan (Headline) Kompas, Media Mainstream Nasional merilis tragedi kemanusiaan di Papua berjudul “ Bencana Kesehatan di Asmat”. Itulah fakta berbicara, sehebat-hebatnya Harian Kompas menjadi pion pemerintah selama 3 tahun Jokowi memimpin negeri, namun hujan fakta tidak bisa bendung dengan payung pencitraan.
Selama 3 tahun kepemimpinan Jokowi ini kita disuguhi informasi yang berlebihan tentang pembangunan Papua. Kehadiran Jokowi, pembangunan jalan, jembatan, gedung2 pencakar langit, jembatan yang melintasi laut, jalan-jalan bebas hambatan, rel kereta api. Kita juga dihipnotis dengan berbagai pemberitaan bahwa di Papua konektivitas darat, laut dan udara terjalin, kota-kota di Papua dmetamorfosis sepeti Jakarta, Yogya, Semarang dan Surabaya. Kata Jokowi ekonomi rakyat Papua makin membaik, derajat kesehatan lebih baik, pendidikan lebih baik. Jokowi presiden terbaik sepanjang Republik ini berdiri. Itulah jargon-jargon kunci media pendukung pemerintah termasuk Kompas selama ini.
Namun hari ini, fakta berbicara lain, kematian bayi akibat busung lapar, gizi buruk di Asmat yang dilis oleh Kompas ini sebenarnya telah memukul balik Presiden Jokowi bahwa semua yang diucapkan oleh pemerintah selama ini omong kosong. Berita Harian Kompas hari ini sebenarnya bisa jadi pintu masuk membuka borok pemerintah, kejahatan dan kematian tersembunyi rakyat Papua dibalik dibalik pencitraan yang berlebihan selama ini.
Secara fakta ada beberapa tragedi kemanusiaan terbesar terjadi di Papua selama kepemimpinan Jokowi:
1. Kasus Paniai 8 Desember 2014 telah tercatat sebagai kejahatan kemanusiaan (gross violation of human right) termasuk dalam kategori pelanggaran HAM Barat yang berkasnya sedang diproses dan terhenti di Komnas HAM. Kasus Paniai adalah salah satu hasil produk rejim kepemimpinan Joko Widodo, menitipkan peristiwa kelam baru bagi Bangsa ini karena itu sebagai kepala negaran tidak bisa lepas tanggung jawab (commander resposibilities). Bagaimana pun juga Jokowi menambah 1 berkas pelanggaran HAM berat di Komnas HAM.
2. Adanya; penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan/penganiayaan (torture) dan pembunuhan (kilings) terhadap lebih dari 6 ribu orang Papua selama 3 tahun merupakan catatan negatif rejim Jokowi. Jokowi tidak bisa menghindari sebagai kepala negara/kepala pemerintahan sebagai penanggungjawab komando (commander resposibilities).
3. Adanya dugaan terjadi genocida secara perlahan melalui berbagai kebijakan (slow motion genocide) di Papua berdasarkan hasil
Penyelidikan beberapa lembaga internasional bisa diduga apakah dengan sadar atau sengaja (by commision) atau lakukan Pembiaran (by ommision) oleh negara dimana Jokowi sebagai kepala negara.
4. Rentetan Kematian Bayi di Papua. Pada tahun 2015, kementerian sosial sunyi dan bisu mendengar kematian 71 Bayi Kecil di Kecamatan Mbuwa Kabupaten Nduga. Kematian yang kata. menteri Kesehatan adalah disebabkan oleh penyakit busung lapar dan kurang gizi, namun banyak laporan lain menyebutkan karena konsumsi makanan tertentu yang dibagikan okeh pihak2 luar. Sampai saat ini kematian 71 bayi meninggal suatu cerita misteri. Demikian pula tahun 2016 dan 2017 pemerintah Jokowi seakan2 gelap dan buta atas kematian lebih dari 60 bayi di Kabupaten Deiyai. Kematiannya akibat kekurangan gizi dan busung lapar serta penyakit menular. Dan hari ini awal tahun ini kita juga menyaksikan kematian puluhan anak karena kekurangan gizi dan kelaparan di Asmat.
Hari ini orang Papua terancam hidup di negerinya sendiri.
Di Negara ini, setiap pemimpin di Papua kalau tidak racuni dan dimatikan selalu berakhir di terali besi. Dalam catatan harian, Tokoh2 Papua Melanesia yang hebat sebagai pejabat negara ataupun pemimpin rakyat tetap akan diracuni dan dimatikan Saraf. Sederet nama2 pemimpin besar dan kawakan sepeti: Yap Salosa, Theys Eluai, Agus Alua, Nataniel Badi, Wospakrik, Willem Mandowen, Pdt Awom, Abraham Ataruri, Jhon Rumbiak, Cosmas Pigai, Thom Beanal, Lukas Enembe dan lain2 adalah korbannya. Sementara rakyatnya ditangkap, dianiaya, disiksa, dibunuh saban hari tanpa henti. Sudah lebih dari ratusan ribu orang Papua mati sia2 di atas tanah airnya sendiri, Tanah Papua, bumi Melanesia.
Pada saat ini, Tanah Papua sedang beranda dalam goncangan besar karena adanya tsunami kemanusiaan. Jutaan rakyat yang ada di atas tanah Papua di lepas pantai, pesisir, pedalaman, pegunungan menjerit, merinti, sedih dan tangis. Saban hari kita hanya bisa mendengar nyanyian dengan syair elegi karena tragedi kemanusiaan yg menimpa rakyat melanesia di Tanah Papua semakin lama semakin menua. Ratusan ribu orang menderita Karena penangkapan, penganiayaan, menyiksaan, pembunuhan.
Tidak ada legasi yang kita peroleh di negeri ini. Penuh diskriminasi, rasisme, orang Papua masih dianggap manusia jaman batu ( the stone age periode society)
Belum lagi, Perampasan kekayaan alam melalui; hutan Papua yg paruh2 dunia dirampok (ilegal loging), emas, perak, minyak, uranium bahkan plutonium di jarah (ilegal maining), ikan2 di laut dan segala biota dicuri (ilegal fisihing).
Orang Melanesia tidak pernah mengenal Kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme namun hari ini tikus2 berdasi merasuk sendi-sendi kehidupan politik dan Pemerintah di atas tanah kita yang suci diatas tanah Melanesia.
Adanya penetrasi kapital disertai penetrasi sipil dan militer mengesampingkan bumi putra Papua, Melanesia tersingkir karena tercipta segresi antara lokal Papua (blue colar) dan asing dan migran sebagai (white colar) melalui diskriminasi dan Rasisme. Penetrasi sipil juga menyebabkan mereka menguasai sumber daya ekonomi di bandar-bandar seperti; Sorong, Manokwari, Biak, Serui, Nabire, Timika, Jayapura, Merauke dan Wamena, sementara putra bangsa melanesia tersingkir di pinggiran. Tingginya kematian ibu dan anak serta perlambatan pertumbuhan penduduk Papua adalah indikasi nyata secara perlahan sedang terjadi bahaya genosida (Slow motion genocida). Itulah kejahatan kemanusiaan yang terabaikan dan Papua menjadi wilayah tragedi terlupa di abad ini.
Hari ini Orang Papua ada didalam dalam pernjara besar, hidup dibawah tekanan, tantangan dan rintangan, ratapan, penderitaan dan kesedihan. Saban hari seperti biasanya, Rakyat Papua akan selalu mendengar elegi ( nyanyi sunyi kesedihan) dari rumah ke rumah dan kampung ke kampung di lepas laut, pesisir, pedalaman juga mereka yg hidup di gunung2 dibawah tebing2 terjal.
Meskipun demikian tidak ada yang berteriak tentang ketidakadilan di Papua, semua sunyi dan bisu atas nama NKRI. Atas nama UUD 1945, atas nama Pancasila.
Hari ini atas nama rakyat Papua, saya minta Jokowi jangan menjadi calon Presiden 2019 Karena akan sama saja akan menambah tenteram kematian rakyat Papua.
Tolong diingat, sekalipun rakyat Papua adalah orang-kecil dan tidak berdaya namun Gajah tidak akan bisa menyengat seekor semut, tetapi sekuat bisa mematikan gajah.
Akhirnya juga saya mengerti ketika belajar dari guru besar ilmu polemologi Jhon Galtung di Belgia dan Masri Singarimbun di Yogya bahwa ilmu pholemologi itu hanya mengajarkan kepada Kebebasan hanya bisa diraih melalui Infinity war: ” PERANG DAN DAMAI”.
(Natalius Pigai, komisioner Komnas Ham 2012-2017/ Aktivis Kemanusiaan)”.
Sumber: https://web.facebook.com/groups/fafhh/permalink/585490821783457/