https://goo.gl/6xFT1M

“Bersama Melawan Penyebar Hoaks

Berita bohong atau hoaks dan ujaran kebencian yang marak di media sosial telah menjadi ancaman nasional. Semua pihak perlu bekerja bersama melawannya. Ini penting terutama saat memasuki tahun politik, hoaks dan ujaran kebencian bisa diramu untuk memenangi

Kompas 21 Jan 2018 (RIANA A IBRAHIM/ M IKHSAN MAHAR)
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

We’d better think about the things we say/ We’d better think about the games we play/ The world went round, around and round/ We’d better think about the consequences/ We’d better think about the global senses/ The time went out, the time went out… (The Cranberries – Time is Ticking Out)Searah jarum jam, Aksi antihoaks digelar di Surabaya, Jakarta, dan Bandung, beberapa waktu lalu.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi membawa kemaslahatan, tetapi juga memicu persoalan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Salah satunya, efek dari kemudahan berkomunikasi melalui berbagai media sosial, yang merupakan dampak dari pesatnya pertumbuhan teknologi informasi, justru menjadi lahan subur untuk menuai ujaran kebencian dan penyebaran berita bohong atau hoaks.

Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, ada lebih dari 800.000 situs yang diblokir sepanjang 2016-2017 karena memiliki konten hoaks dan ujaran kebencian. Ada pula lebih dari 300.000 akun media sosial yang dibekukan karena mengunggah pesan serupa yang berpotensi memprovokasi dan mengadu domba. Pertengahan 2017, kepolisian menindak kelompok Saracen, salah satu sindikat yang menjual jasa untuk memproduksi dan menyebarkan hoaks.

Selama 2017, Polri menangani 3.325 kasus ujaran kebencian dan hoaks. Jumlah itu meningkat dibandingkan 1.829 kasus yang ditangani pada 2016.

Di Indonesia, sejumlah regulasi mengatur mengenai persoalan ini, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hingga Surat Edaran Kepala Polri No SE/6/X/2015.

Namun, dalam pelaksanaannya, sejumlah aturan ini terkadang dipertanyakan. Alih-alih melindungi negara dari disintegrasi, aturan itu justru berpotensi disalahgunakan untuk menyerang kelompok tertentu. Meski tak bisa dimungkiri, ujaran kebencian dan berita bohong harus diatasi karena rentan menjadi senjata politik dan memengaruhi kondisi demokrasi.

Pilkada DKI Jakarta 2012 dan 2017 menunjukkan besarnya peran media sosial dalam mengendalikan kontestasi dan memengaruhi perolehan suara. Tak hanya di dalam negeri, Barack Obama pada 2008 juga mendulang banyak dukungan di Pemilihan Presiden Amerika Serikat karena efektivitas kampanye melalui media sosial. Begitu pula Presiden AS Donald Trump yang tak henti menuai kontroversi melalui cuitannya di Twitter.

Isu yang dilempar ke publik pun tak berbeda. Primordialisme dan puritanisme menjadi hal lazim yang diperbincangkan di dunia maya. Perdebatan dipicu pancingan dari sejumlah akun anonim yang terkadang mengunggah berita bohong dan membumbui dengan ujaran kebencian sehingga mampu menyulut amarah dan keberpihakan.

Negara lain

Penegakan hukum pun masih tebang pilih. Ada area abu-abu, subyektivitas, hingga tekanan publik yang menyulitkan hukum bekerja optimal meski belakangan di Indonesia pengunggah ujaran kebencian satu per satu diajukan ke meja hijau.

Tidak hanya Indonesia, sejumlah negara di dunia juga mulai bersikap tegas. Sejumlah negara di Uni Eropa mulai mendorong perusahaan media sosial untuk menghapus konten yang berisi ujaran kebencian dan berita bohong. Jerman, misalnya, memiliki aturan menjatuhkan denda hingga 50 juta euro bagi perusahaan media sosial yang tak menindak unggahan berisi ujaran kebencian.

Di Belanda, aturan untuk menindak ujaran kebencian sudah ada sejak 1980-an, tetapi implementasinya minim. Contohnya, politisi kanan Geert Wilders dinyatakan bersalah telah mengeluarkan ujaran kebencian tetapi tidak dijatuhi hukuman oleh hakim. Hakim tidak mengabulkan tuntutan jaksa untuk menjatuhkan denda 5.000 euro kepada Wilders. Menurut hakim, putusan bersalah telah cukup dan akan memengaruhi karier politik yang bersangkutan.

Langkah lain ditempuh Swedia. Manajer Program Divisi Internasional Vinnova Henrik Friden, yang ditemui di kantor pusat Vinnova, Stockholm, Desember lalu, mengatakan, penanggulangan hoaks telah menjadi perhatian besar Swedia. Pemerintah Swedia melalui lembaga riset Vinnova mengucurkan dana hingga 13,5 juta krona (sekitar Rp 22,2 miliar) yang akan dialokasikan ke sejumlah media arus utama Swedia untuk bersama-sama mengatasi berita bohong, terutama di agenda pemilu nasional 2018.

Lembaga negara

Dalam satu tahun terakhir, penanganan ujaran kebencian dan hoaks di dunia maya telah menjadi perhatian sejumlah pihak di Tanah Air. Sebut saja Polri yang memperkuat unit sibernya, Kemenkominfo yang aktif melakukan pemantauan, Nahdlatul Ulama yang memiliki pusat komando digital untuk mengamati isu-isu populer di media sosial, dan pemerintah yang membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang bertujuan menanggulangi kejahatan siber.

Untuk meredam hoaks dan ujaran kebencian, Bareskrim Polri rutin melakukan patroli siber. Sejumlah pihak telah diberi peringatan. Bagi yang tidak mengindahkannya, Bareskrim akan memanggil pihak-pihak terkait untuk menjelaskan maksud konten-konten provokasi yang disebarkan di dunia maya.

Nahdlatul Ulama sebagai salah satu organisasi perekat bangsa juga tak sekadar menunggu aksi pemerintah untuk meredam hoaks, terutama yang berkaitan dengan ajaran Islam. Sejak setahun lalu, Pusat Komando Digital NU memantau aktivitas akun-akun di media sosial. Sejumlah status, cuitan, dan berita tentang keislaman bisa dianalisis oleh sistem di pusat komando itu. Apabila ada konten yang bernuansa radikal dan jauh dari sifat moderat khas nilai Islam Indonesia, tim siber NU akan membuat konten tandingan yang lebih menyejukkan dan berada di koridor nilai-nilai keindonesiaan.

Karena ujaran kebencian dan hoaks di dunia maya telah menjadi ancaman nasional, Kepala BSSN Djoko Setiadi menegaskan, pihaknya akan melakukan sinergi kerja dengan lembaga/kementerian yang juga menangani masalah siber. Sebab, gangguan kejahatan siber dapat berdampak pada aspek ekonomi, ideologi politik, dan pertahanan keamanan.

Direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, implementasi aturan hukum harus tegas dengan menjamin penghormatan terhadap hak-hak warga negara. Sebab, memasuki tahun politik, taktik politik identitas kandidat masih laku digarap dengan memainkan perspektif agama, ras, dan golongan lewat sarana tak kasatmata ini.

Memasuki tahun politik 2018 dan 2019, ujaran kebencian dan hoaks diprediksi tetap menjadi ramuan yang digunakan pihak tertentu untuk memenangi kontestasi politik. Atas dasar itu, sudah saatnya semua pihak saling menyadarkan bahwa bangsa Indonesia hadir atas kombinasi sejumlah perbedaan yang menyatu dalam kehidupan sosial, bukan dari kata-kata penuh provokasi dan kebencian di dunia maya.”

Sumber: https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/588159104849962/