“Berdasarkan penjelasan dari Prof. Mahfud MD di Twitter,
(1) Mahkamah Konstitusi tidak membuat vonis yang memperbolehkan Zina dan LGBT.
(2) Mahkamah Konstisusi hanya menolak memberi perluasan tafsir atas apa yang ada di KUHP, bukan memperbolehkan atau melarang.
(3) Mahkamah Konstitusi memang tidak boleh membuat norma.
(4) Larangan Zina dan LGBT bisa dibuat di Undang Undang.
(5) Yang bisa mengatur untuk memperbolehkan atau melarang masuk ke ranah Legislatif, bukan Yudikatif.
(6) Mahkamah Konstitusi menolak memberikan tafsir karena sudah diatur jelas di KUHP, Zina tetap dilarang.
(7) Sudah ada Rancangan Undang Undang di KUHP baru yang informasinya akan diundangkan di Januari 2018.
(cek juga bagian REFERENSI).”
SUMBER
(1) https://goo.gl/j8EVYr, sudah dibagikan 21.169 kali ketika tangkapan layar dibuat.
(2) https://goo.gl/SUj8Rp < tap atau klik untuk melihat akun-akun lain yang menyebarkan (public posts).
NARASI
“Ini pertanyaan serius, negeri yang mayoritas muslim, kok bisa tidak mempidanakan kumpul kebo alias zina? LGBT pun tidak melanggar hukum…
Katanya ideologinya Pancasila, memangnya zina dan LGBT sesuai dengan Pancasila? Katanya Pancasila lahir dari Islam, padahal Islam sendiri tegas dan keras mengharamkan Zina dan LGBT…
Kalau Pancasila melegalkan zina dan LGBT berarti pancasila bertentangan dong dengan Islam??
Jika kita anti Zina dan anti LGBT kita dikatain anti Pancasila anti NKRI… begitu?
Serius Nanya…
Komen yg bisa jawab….”
“JADI “KUMPUL KEBO” DAN LGBT ITU SESUAI DENGAN PANCASILA?
TRUS YANG ANTI ZINA DAN ANTI LGBT DICAP SEBAGAI ANTI PANCASILA GITU?”
PENJELASAN
Berdasarkan penjelasan dari Prof. Mahfud MD di Twitter,
(1) Mahkamah Konstitusi tidak membuat vonis yang memperbolehkan Zina dan LGBT.
(2) Mahkamah Konstisusi hanya menolak memberi perluasan tafsir atas apa yang ada di KUHP, bukan memperbolehkan atau melarang.
(3) Mahkamah Konstitusi memang tidak boleh membuat norma.
(4) Larangan Zina dan LGBT bisa dibuat di Undang Undang.
(5) Yang bisa mengatur untuk memperbolehkan atau melarang masuk ke ranah Legislatif, bukan Yudikatif.
(6) Mahkamah Konstitusi menolak memberikan tafsir karena sudah diatur jelas di KUHP, Zina tetap dilarang.
(7) Sudah ada Rancangan Undang Undang di KUHP baru yang informasinya akan diundangkan di Januari 2018.
(cek juga bagian REFERENSI).
REFERENSI
(1) @mohmahfudmd: “Yg krng paham, menuding MK membuat vonis membolehkan Zina & LGBT. Yg benar MK hny menolak memberi perluasan tafsir atas yg ada di KUHP, bkn membolehkan atau melarang. MK memang tak blh membuat norma. Larangan zina dan LGBT bs dilarang di dlm UU. Dan itu skrng sdh ada di RUU KUHP.” https://goo.gl/fxmsNN.
.
@mohmahfudmd: “Bukan begitu. Mengatur utk membolehkan atau melarang sesuatu itu adl ranah legislatif, bukan ranah yudikatif. MK menolak memberi tafsir krn sdh diatur jelas di KUHP. Zina tetap dilarang. Di dlm RUU-KUHP yg skrang hampir diundangkan itu sdh diatur dgn lbh tegas. Itu sj kita kawal.” https://goo.gl/LXrPtx
Retweeting: @zamzami59: “Di sana ada berapa hakim prof??? Ada satu hakim yg menolak hasil itu..tapi kalah dengan jumlah hakim yg lain. Sama aja itu kasih angin segar buat LGBT ..bukan begitu???? Smga siapapun yg bilang ” lindungi LGBT/MINORITAS” smga anak keturunanya jd LGBT .” https://goo.gl/i26pb2.
.
@mohmahfudmd: “Bukan di UU, Mas Wahyudin tapi di RUU KUHP baru yg akan segera diundangkan. Di KUHP yg lama pun ada larangan zina tapi definisinya bertentangan dgn kesadaran hukum rakyat Indonesia. Maka skrang akan diperluas. Kita kawal sj. Kabarnya Januari 2018 akan diundangkan.” https://goo.gl/uQMFux
Retweeting: @Wahyudin180288: “jujur saya gagal paham prof @mohmahfudmd karena lihat di media, tapi setelah prof kirim tweet ini memotifasi saya untuk brwosing tentang uu ini” https://goo.gl/LZKDAU.
.
@mohmahfudmd: “Ya, baca dan catat saja dulu. Nanti kalau sempat akan saya sampaikan elaborasinya di media konvensional, bkn di Twitter krn kalau bicara di Twitter space-nya terbatas.” https://goo.gl/evKHah
Retweeting: @fadjroeL: “BACA dan CATAT! Ini yang bicara Prof @mohmahfudmd mantan Ketua Mahkamah Konstitusi @MK_RI ~ @PEDOMAN_id @Jokowinomics_id” https://goo.gl/mDRdcj.
.
(2) @bentarabumi: “Kita menang telak di Mahkamah Konstitusi.
LGBT gak jadi kriminal di Indonesia.
It’s a good day.
Really really a good day.
:”)” https://goo.gl/3kWQUv.
.
(3) https://goo.gl/N5Mhfa, “Uji Materi MK, Kumpul Kebo dan LGBT Tak Bisa Dipidana
Putu Merta Surya PutraPutu Merta Surya Putra
14 Des 2017, 15:34 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6.com/Johan Tallo)
Liputan6.com, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan. Adapun tiga pasal yang digugat adalah Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis Hakim MK Arief Hidayat dalam sidang pleno di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017).
Adapun gugatan ini diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak, yang mayoritas ibu-ibu pada 2016 lalu.
Dalam gugatannya terkait Pasal 284 KUHP, pemohon mengatakan cakupan seluruh arti kata “zina” hanya terbatas bila salah satu pasangan atau keduanya terikat dalam hubungan pernikahan. Padahal, pasangan yang tidak terikat pernikahan juga bisa dikatakan zina.
Adapun untuk Pasal 285 KUHP, pemohon juga meminta perluasan makna perkosaan bukan hanya dilakukan pelaku terhadap wanita, tetapi juga kepada pria.
Kemudian Pasal 292, pemohon meminta para pelaku seks menyimpang atau dalam hal ini LGBT, diminta jangan hanya dibatasi oleh orang dewasa.
Meski demikian, Hakim MK memandang, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum.
Hakim Beda Opini
Suasana Sidang Mahkamah Konstitusi (MK). (Liputan6.com/Johan Tallo)
Walau ditolak, terjadi dissenting opinion. Empat hakim yang memiliki pendapat berbeda ialah Hakim Arief sang Ketua MK, Hakim Anwar Usman, Hakim Wahiduddin Adams, dan Hakim Aswanto. Ada sejumlah alasan pendapat mereka.
“Penyempitan makna zina yang hanya meliputi adultery menurut Pasal 284 KUHP jelas merupakan despiritualisasi hukum. Sebab, menurut ajaran agama dan ketertiban umum yang memang oleh konstitusi dijadikan sebagai salah satu rambu atau pedoman, yang harus dipatuhi dalam membentuk norma undang-undang, persetubuhan antara laki-laki dan perempuan secara manusiawi hanya dapat dibenarkan melalui sarana lembaga perkawinan,” ucap Hakim MK.
Sementara itu, untuk Pasal 285 KUHP, paradigma tentang kekerasan untuk bersetubuh hanya dapat dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan, jelas tidak sejalan dengan beberapa jaminan hak konstitusional, menurut Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UDD 1945.
“Norma-norma konstitusi ini menyebutkan prinsip kesamaan kedudukan di hadapan hukum tanpa membedakan jenis kelamin dan secara historis maupun kontemporer dapat dibuktikan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berpotensi menjadi pelaku atau korban dalam konteks delik perkosaan,” jelas Hakim MK.
Adapun untuk Pasal 292 KUHP, hakim menilai bahwa pencantuman unsur objektif “anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama” dalam pasal a quo, jelas merupakan kemenangan kaum homoseksual.
“Padahal praktik homoseksualitas jelas merupakan salah satu perilaku seksual yang secara intrinsik, manusiawi, dan universal sangat tercela menurut hukum agama dan sinar ketuhanan, serta nilai-nilai hukum yang di masyarakat. Sehingga kami berpendapat bahwa kata ‘dewasa’, frasa ‘yang belum dewasa’, dan frasa ‘yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa’ dalam Pasal 292 KUHP seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tegas Hakim.
Bukan Wewenang MK
Ilustrasi sidang Mahkamah Konstitusi (MK). (Liputan6.com/Johan Tallo)
Namun, hakim yang tetap menolak uji materi tersebut menegaskan, MK tidak menolak gagasan pembaruan dan bukan juga bahwa norma hukum yang dalam KHUP sudah lengkap. Akan tetapi, jika itu dilakukan perubahan, bukanlah kewenangan MK, melainkan kewenangan pembuat undang-undang.
“Oleh karena itu, gagasan pembaruan yang ditawarkan para pemohon seharusnya diajukan kepada pembentuk undang-undang dan hal tersebut seharusnya menjadi masukan penting bagi pembentuk undang-undang dalam proses penyelesaian perumusan KUHP yang baru,” pungkas Hakim MK.”.
Sumber: https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/572260273106512/