Sejarah Islam tidak lepas dari upaya berkelanjutan melawan berita bohong (hoax).

Tidak kurang dari seorang istri Nabi yang mulia, ‘Aisyah ra, pernah mendapatkan tuduhan bohong, yaitu ketika beliau tertinggal dari rombongan besar kaum muslimin, setelah di malam hari beliau mencari-cari kalung yang terjatuh.

Beliau akhirnya ditemukan oleh seorang sahabat, dan diantarkan ke rombongan yang sempat meninggalkannya. Namun masyarakat muslim waktu itu sempat kacau karena munculnya desas-desus berupa tuduhan bahwa ‘Aisyah ra telah selingkuh. Beberapa bahkan ada yang meminta Rasulullah menceraikan ‘Aisyah.

Issue ini berakhir setelah Allah SWT menurunkan 10 ayat, sekaligus pembelaan kepada ‘Aisyah. Salah satu ayatnya adalah:

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar (pula).” (QS. An-Nur: 11)

Ini adalah ayat yang sangat tegas dari Qur’an yang menyatakan besarnya adzab bagi penyebar berita bohong (haditsul ifk), atau dalam bahasa sekarang kita sebut dengan Hoax.

Beberapa puluh tahun sesudah wafatnya Nabi, mulailah beredar kabar palsu yang menisbatkan sebagai perkataan Nabi, padahal bukan. Beberapa motifnya politik, beberapa sudah masuk ke ajaran Islam. Itulah kemudian mengusik hati Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk meminta para ulama memerangi penyebaran hadits palsu dengan melakukan kodifikasi hadits.

Para ulama selanjutnya secara massif melakukan kodifikasi hadits, yang pada saat ini kita menikmatinya dalam bentuk kitab hadits dan ilmu hadits. Para Imam Ahli Hadits yang kita kenal, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik, dan puluhan Imam lain, sesungguhnya adalah teladan bagi kaum muslimin dalam memisahkan antara kebenaran dan kedustaan. Bahwa semangat anti kebohongan, adalah termasuk nilai dasar dalam ajaran Islam itu sendiri.

Sesungguhnya ada beberapa ayat lain yang juga memperingatkan tentang kewajiban seorang muslim dalam menyikapi berita, seperti yang terkenal adalah:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS Al Hujurat 6)

Rasulullah SAW sendiri dengan tegas menyatakan bahwa seorang penuduh dengan tuduhan keliru, akan berpotensi menjadi muflisin, yaitu bangkrut di akhirat, akibat amal darinya akan dipindahkan ke orang yang salah dituduh, dan dosa dari yang salah dituduh akan dipindahkan kepada penuduh.

“Tahukah kalian siapa orang yang pailit (bangkrut)? Para sahabat menjawab: “Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta.” Nabi berkata: “Sesungguhnya orang yang bangkrut di umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) shalat, puasa, dan zakat; akan tetapi dia datang (dengan membawa dosa) telah mencaci si ini, menuduh si ini, memakan harta si ini, menumpahkan darah si ini, dan memukul si itu; maka si ini (orang yang terzhalimi) akan diberikan (pahala) kebaikannya si ini (pelaku kezhaliman), dan si ini (orang yang terzhalimi lainnya) akan diberikan kebaikannya si ini (pelaku kezhaliman). Jika kebaikannya telah habis sebelum dituntaskan dosanya, maka (dosa) kesalahan mereka diambil lalu dilemparkan kepadanya kemudian dia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim)

Para Imam kaum muslim pun dalam mengajarkan adab, moral, mengajarkan sikap kehati-hatian dalam menyebarkan berita. Karena itu adalah bagian fundamental dalam pengajaran agama, yang tidak boleh dicampur aduk antara ajaran yang baik dengan berita bohong.

Misalnya Imam Syafi’i, berkata

“Sesungguhnya kebohongan yang juga dilarang adalah kebohongan tak terlihat, yakni menceritakan kabar dari orang yang tak jelas kejujurannya.” (Ar Risalah)

“Di antara jenis kebohongan adalah kebohongan yang samar. Yakni ketika seseorang menyebar informasi dari orang yang tak diketahui apakah ia bohong atau tidak.” (Iryadul ‘Ibad ila Sabilir Rasyad)

Maka sungguh lengkap kiranya panduan dari Qur’an, Hadits, Qaul Ulama tentang bahaya penyebaran berita bohong, sehingga perkara ini tidak bisa dianggap sepele. Sehingga ketika negara kita terkena wabah penyebaran hoax, umat Islam sudah punya panduan yang tidak terbantahkan tentang bagaimana menyikapinya.

Yaitu, lawan hoax. Karena tidak ada kehormatan menggunakan berita bohong untuk kepentingan apapun. Tidak ada kemaslahatan yang bisa dicapai dengan menyebarkan atau mendiamkan hoax.

Wallahua’lam

Ketua Masyarakat Indonesia Anti Hoax

#IslamAntiHoax
#TurnBackHoax

 

REFERENSI;

https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/406436813022193/