https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20171115/281595240820325

Ketika Emosi Dominasi Politik

Kompas 15 Nov 2017 Oleh HARYATMOKO

Fenomena hoaks yang masif menyebar mengentak akal sehat masyarakat dan dunia politik. Di satu sisi, banyak orang skeptis terhadap kredibilitas media massa. Namun, di sisi lain, hoaks menunjukkan, masyarakat justru mudah percaya pada beragam informasi media sosial. Masyarakat dikondisikan untuk mengabaikan verifikasi kebenaran. Kredibilitas berita, pesan, atau opini sering sudah tidak dipertanyakan lagi. Kebohongan menyelinap masuk melalui kebingungan orang dalam membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis. Akibatnya, di dalam masyarakat Indonesia yang sudah terpolarisasi oleh ideologi, ketegangan dan konflik semakin mudah dipicu. Parahnya, hoaks semakin menyuburkan polarisasi masyarakat karena meneguhkan keyakinan setiap kelompok. Setiap kelompok cenderung menolak penalaran yang berbeda meski masuk akal atau obyektif. Kebohongan menyuburkan ideologi. Masalahnya, kebohongan bukan hanya bentuk mekanisme pertahanan diri, melainkan dirancang, diciptakan, dikembangkan, dan direkayasa ke dalam wacana publik. Kebohongan jadi bagian dari serangan strategis terkoordinasi yang dimaksudkan untuk menyembunyikan kebenaran, mengacaukan publik dengan menciptakan pertentangan yang awalnya tak ada. Tujuannya, menghentikan kemajuan dalam kehidupan bersama demi kekuasaan. Mengapa kebohongan memikat? Karena pembohong, menurut Arendt, berbicara/menalar dengan mengikuti logika dan harapan yang dibohongi (1979). Tesis Arendt ini mirip logika hoaks yang mau memuaskan keyakinan audiensnya. Hoaks adalah anak kandung era post-truth. Era post-truth, menurut JA Llorente, merupakan iklim sosial-politik di mana obyektivitas dan rasionalitas membiarkan emosi atau hasrat memihak ke keyakinan meskipun sebetulnya fakta menunjukkan hal yang berbeda (2017: 9). Post-truth lebih tepat disebut lawan kata dari fact-checking: relativisasi kebenaran berhadapan obyektivitas data. Lalu terjadi banalisasi data karena adanya supremasi wacana emosional (JA Zarzalejos, 2006).

Kebaruan ”post-truth”

Era post-truth mendapat momentumnya karena massa jenuh dan membenci limpahan pesan dan rayuan: semua berujung meminta untuk membeli, mengonsumsi, memilih, memberi pendapat, atau ambil bagian di kehidupan sosial. Ada tiga kondisi era post-truth yang disambut hangat masyarakat: (1) ada devaluasi kebenaran sebagai dampak dari narasi politisi penebar demagogi, (2) banyak orang atau kelompok merasa nyaman dengan informasi yang telah dipilih, dan (3) media menekankan sensasi sehingga seakan hanya yang spektakuler atau sensasional layak disebut worth news. Kecenderungan ini menyuburkan perkembangan hoaks. Membanjirnya hoaks membuat masyarakat tak sempat lagi atau malas, bahkan menolak, untuk memverifikasi fakta. Hoaks mengukir karier gemilangnya melalui keberhasilan membungkam pemikiran kritis. Meluasnya fenomena hoaks yang melemahkan obyektivitas dan kredibilitas informasi tak bisa dilepaskan dari cara-cara baru mengakses ke opini publik berkat berkembangnya media alternatif: WhatsApp, Facebook, blog pribadi, SnapChat, Twitter, dan Youtube. Media sosial ini memudahkan berita palsu menyebar. Kredibilitas media pudar, kalah dari opini pribadi. Fakta jadi nomor dua, kalah dari keyakinan pribadi. Era post-truth mengutamakan bagaimana melihat dan membaca versi fakta yang lebih dekat dengan ideologi masing-masing. Lalu apa kebaruannya dibandingkan kebohongan yang sejak dulu sudah dipraktikkan dalam politik? Ada lima kebaruan yang menandai era post-truth: (1) luasnya akses ke konten informasi berkat digitalisasi komunikasi, (2) masyarakat bisa membuat informasi sendiri melalui medsos berkat demokratisasi media dan jurnalisme warga, (3) masyarakat lebih rentan menerima informasi yang keliru karena berkembang komunitas-komunitas seideologi, (4) teknologi telah merancukan kebenaran karena viral dianggap lebih penting daripada kualitas informasi dan etika, dan (5) kebenaran tidak perlu lagi difalsifikasi atau dibantah, tetapi kebenaran menjadi nomor dua. Kelima kebaruan itu memberi peluang politisi yang haus kekuasaan untuk merekayasa agar prasangka negatif kelompok-kelompok masyarakat diintensifkan melalui manipulasi emosi mereka.

Bangkitkan permusuhan

Semua gerakan politik yang mau mendiskreditkan lawannya berusaha menggunakan unsur-unsur yang lebih sentimental/emosional. Tujuannya, untuk menciptakan dan membakar emosi massa. Upaya seperti ini menjadi bagian dari populisme: persuasi emosional lebih efektif daripada kriteria rasionalitas. Populisme piawai menggunakan demagogi karena inti komunikasinya membidik pengaruh melalui manipulasi. Demagog disebut politikus yang meminjamkan suaranya kepada rakyat. Maka, dia sangat piawai menyesuaikan diri dengan situasi emosi rakyat sampai mampu menampilkan wajah sebanyak kategori sosial rakyatnya. Demagog mudah mengaduk-aduk emosi massa. Bagi seorang demagog, merayu berarti mati sebagai realitas untuk menghasilkan tipu daya (Bellenger). Manipulasi menyusup di celah-celah antara nilai, gagasan, dan opini sehingga ketiganya sulit dibedakan untuk akhirnya diterima sebagai fakta. Bentuk disinformasi ini mau menyentuh emosi masyarakat agar mudah membungkam pikiran kritis. Tujuannya: membangkitkan ketegangan dan permusuhan untuk mobilisasi massa. Jadi, disinformasi ini menjadi instrumen persuasi yang membidik empat hal: (1) bentuk rekayasa informasi agar orang bingung dalam menafsirkan realitas, (2) manajemen taktik konspirasi dengan membangkitkan kecurigaan dan permusuhan di antara kelompok-kelompok masyarakat, (3) menciptakan mitos-mitos politik, dan (4) self-fulfilling prophecy: pembenaran argumen politikus yang dikemas seperti ramalan, padahal sebetulnya peramal sekaligus algojonya.

Menipu tanpa merasa salah

Menipu tak lagi menimbulkan rasa salah karena tipuan dianggap sebagai versi lain semi-kebenaran. Mengapa bisa tak merasa bersalah? Kebanyakan orang sibuk dengan apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya sehingga apa pun bisa dilakukan demi citra baik di mata orang lain. Menipu jadi hal yang biasa di seluruh tingkat kehidupan (R Keyes, 2004: 3-5). Tuntutan pencitraan diri itu yang mendorong orang mudah berbohong. Memilih mana yang mau dikatakan seakan hanyalah masalah mana yang lebih nyaman, bukan lagi terbebani tanggung jawab moral. Semua dilakukan demi citra diri di mata orang lain, terutama kelompoknya. Kecenderungan berbohong menunjukkan, dalam hal politik dan moral, manusia pada dasarnya lebih groupish daripada selfish (Haidt, 2012: 97, 203). Orang lebih memberi perhatian kepada kelompoknya. Kecenderungan berpihak kepada kelompoknya ini menjelaskan dari mana datangnya fanatisme kelompok. Haidt menunjuk empat penyebab fanatisme kelompok: (1) insting sosial mendorong orang yang merasa kuat dekat dengan kelompok, (2) berlakunya hukum kesalingan, yaitu yang mudah menolong cepat mendapat pertolongan, (3) memuji dan menyalahkan jadi faktor penting dalam membentuk ikatan kelompok karena seleksi kelompok ditentukan berdasarkan keberhasilan upaya menekan selfishness (Haidt, 2012: 206-207), dan (4) pengaruh oksitosin, hormon neurotransmiter yang dihasilkan hipotalamus, untuk mendorong mencintai anggota kelompoknya dan membenci bukan kelompoknya. Menurut Haidt, hormon ini akan muncul pada saat situasi intim berkat hubungan dekat dan berani terluka/mati ketika menghadapi musuh (Haidt, 2012: 247). Berbohong juga dipakai untuk melindungi kelompok. Kebohongan memecah belah kelompok-kelompok masyarakat dan melemahkan budaya politik sehingga konsensus ideologis menjadi tidak mungkin. Warga negara biasa, bahkan intelektual, tidak mampu melawan kebohongan yang terorganisasi rapi. Akademisi direkrut untuk memberi legitimasi ilmiah rekayasa politisi. Demi kekuasaan, manipulasi media mampu menciptakan situasi di mana kebenaran menjadi tidak relevan lagi.

Pengajar di Universitas Sanata Dharma dan FIB Universitas Indonesia”