Bebereapa waktu lalu beredar sebuah postingan di media sosial facebook yang memprotes tentang masuknya alat-alat berat ke dusun pancer, tepatnya di kaki gunung Tumpang Pitu guna mengeksploitasi tambang emas yang ada di lokasi tersebut. berikut adalah screen shoot dari postingan di facebook:
menanggapi pemberitaan tersebut, Bupati Banyuangi, Azwar Anas pun turun tang dan menjelaskan kepada masyarakat dusun Pancer. Selama kurang lebih dua jam Anas, PT BSI dan Forpimda menemui langsung warga sekitar tambang emas tumpang pitu di Lapangan Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran. Dalam kesempatan itu Anas menjelaskan kronologi detail terkait perizinan kegiatan eksplorasi yang dimulai sebelum ia memimpin sebagai orang nomor satu di Banyuwangi.
Di hadapan warga di lokasi, Jumat (25/3/2016) kemarin, Anas memjabarkan jika kegiatan eksplorasi emas di Banyuwangi sudah dimulai sejak tahun 1991 sampai 1994 oleh PT Gamasiantara (Golden Eagle Indonesia), lalu dilanjutkan oleh Korea Toosun Holding dari 1994 sampai 1997.
Kemudian, dilakukan oleh Golden Valley Mines (1997), Placer Dome (1999-2000) dan Hakman Group JV. Pada 2006, PT Indo Multi Cipta (IMC) yang selanjutnya berubah nama menjadi PT Indo Multi Niaga (IMN) melanjutkan kegiatan eksplorasi.
Proses perizinan yang dilakukan sudah cukup panjang, tercatat sejak 2006 sudah terbit Surat Keterangan Izin Peninjauan (SKIP) dan Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum kepada PT IMC dan selanjutnya pada tahun 2007 terbit Kuasa Pertambangan Eksplorasi atas nama PT IMN yang selanjutnya pada tahun 2008 terbit Kuasa Pertambangan Eksploitasi.
Tahun 2010, seiring dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka KP Eksploitasi PT IMN disesuaikan bentuknya menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi. Lalu pada 2012, IMN mengajukan pemindahan IUP ke PT Bumi Suksesindo (BSI) hingga saat ini.
Anas memaparkan jika sejak awal menjabat Bupati pada 20 Oktober 2010, sudah ada 137 tahapan proses yang diajukan ke Pemda terkait perizinan tambang. Anas mencermati detail dan menemukan fakta bahwa bahwa saat itu tidak ada satupun kerangka kerja yang bisa menguntungkan masyarakat Banyuwangi. Anas juga dihadapkan pada pilihan tuntutan untuk menutup tambang atau terus melanjutkannya karena perizinan tambang telah berjalan sejak dia belum menjabat.
“Selama sekitar 1,5 tahun saya tidak mau menemui PT IMN, pengelola tambang saat itu. Selama itu pula saya tidak menandatangani RKP (Rencana kerja Perusahaan). Saya putuskan saya harus mencari benchmark, bertanya ke para ahli, hingga berkonsultasi ke sejumlah kepala daerah tentang pengelolaan tambang di wilayahnya” ujar Anas.
Dalam jeda itu, lanjut Anas, Pemkab Banyuwangi lalu berikhtiar untuk meningkatkan kemanfaatan tambang bagi warga Banyuwangi. Anas belajar dari praktik-praktik yang telah berjalan. Konsultasi ke beberapa kepala daerah juga dilakoni oleh Anas. Semisal, ia bertukar pikiran dengan Kepala Daerah Kutai Timur yang secara berani menutup tambang. Namun tantangan baru muncul dan berlanjut hingga gugatan arbitrase internasional.
“Sampai sekarang masih digantung problem ini, tidak ada ujungnya. Sehingga solusi yang ini saya hindari, karena ongkosnya tinggi,” ujar Anas.
Tak berhenti, Anas lalu belajar dari Bupati Sumbawa Barat dimana Pemda setempat bisa mendapatkan saham, yang bisa dipergunakan untuk pembangunan daerah.
Dari skema itu, Anas didsmpingi konsultan pertambangan lalu meminta renegoisasi kepada pengelola tambang. Dari beberapa kali pertemuan dan negosiasi hingga belasan kali, muncullah ide golden share. Pemkab Banyuwangi lalu mendapat golden share dihitung dari total modal disetor buat mengelola tambang. Banyuwangi mendapat saham tanpa mengeluarkan uang.
“Ini yang pertama di Indonesia. Prinsip yang kami anut, bila tidak bisa mendapatkan semuanya, maka dapatkan sebagian. Nanti keuntungan dari tambang bisa digunakan Pemkab Banyuwangi untuk membiayai anak-anak muda Banyuwangi sekolah hingga ke luar negeri, membangun jalan, menyediakan fasilitas kesehatan, dan sebagainya,” ujar Anas.
Anas menegaskan, keuntungan yang dirasakan Banyuwangi dari kepemilikan saham di tambang tersebut baru akan dirasakan empat atau lima tahun mendatang ketika tambang sudah benar-benar berproduksi.
“Saat keuntungan itu mengalir ke Pemkab Banyuwangi, saya sudah tidak jadi bupati. Artinya apa? Artinya kami sekarang berpikir untuk pembangunan bertahun-tahun ke depan, bukan berpikir sekarang,” ujar Anas.
Dalam kesempatan tersebut, konsultan BSI, Dr. Ir Arief Armansyah yang ikut hadir dalam pertemuan tersebut, menjelaskan jenis pertambangan di Tumpang Pitu terkategori pertambangan epitermal sehingga tidak ada tailing yang membahayakan.
Dalam proses pengelolaan eksplorasi emas digunakan metode penambangan heapleaching, salah satu pertambangan di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara dijadikan sebagai acuan. Dalam sistem tersebut, limbah tidak dibuang ke laut, namun diproses sedemikian rupa sehingga aman bagi alam.
“Tumpang Pitu itu jenis epitermal, sehingga tidak akan ada tailing-nya,” papar Arief.
(KESIMPULAN):
Klaim bahwa pemerintah SBY hanya mengijinkan usaha tambang dilakukan secara manual sedangkan pemerintah Jokowi mengijinkan dengan alat berat tidak sesuai dengan penjelasan Bupati Banyuwangi. Disinformasi dan ketidaksesuain itu mengarah ke hasut.
REFERENSI:
https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/496745723991301/
https://news.detik.com/berita/3173240/kata-bupati-anas-soal-kronologi-izin-tambang-emas-tumpang-pitu-banyuwangi