Edukasi ini berasal dari artikel di Hukumonline.com tertanggal 08 Januari 2017.
Isu hoax yang beredar melalui internet semakin marak menjadi sorotan beberapa tahun belakangan ini. Para netizen sangat gemar berbagi berita tanpa mau repot memeriksa kebenaran berita yang didapatkan melalui internet sebelum menyebarkannya, terutama yang bersumber dari broadcast teks atau gambar di media sosial.
Padahal, ada sanksi yang berat jika terbukti bersalah menyebarkan hoax berdasarkan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Lalu apa sebenarnya hoax yang dapat diancam pidana oleh UU ITE dan bagaimana menghindari sanksi hukumnya?
Kepala Sub-Direktorat Penyidikan dan Penindakan pada Direktorat Keamanan Informasi Kemenkominfo, Teguh Afriyadi, mengatakan bahwa hoax adalah istilah umum di masyarakat untuk konten berisi kebohongan yang dalam hal ini disebarkan melalui jaringan teknologi informasi dan komunikasi. Menurut UU ITE sendiri ada 3 jenis konten hoax yang dapat dipidana sebagai konten ilegal.
Pertama, konten berisi pencemaran nama baik atau fitnah yang dilarang dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Kedua, penipuan untuk motif ekonomi yang merugikan konsumen dalam Pasal 28 ayat 1 UU ITE. Dan yang ketiga adalah provokasi terkait SARA sebagaimana dilarang oleh Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Inilah 3 jenis konten hoax yang diancam maksimal penjara 4 hingga 6 tahun atau denda maksimal Rp750 juta hingga Rp1 miliar.
Kebanyakan hoax di internet yang beredar melalui akun media sosial seperti Facebook dan twitter kini beralih tren lebih banyak melalui aplikasi pesan instan di smartphone seperti Whatsapp, Telegram, Line. Teguh menambahkan, seringkali efek viral dari hoax terjadi justru karena penerima hoax ingin melakukan klarifikasi pada sesama netizen. Namun hoax itu justru diteruskan lagi secara terus menerus oleh netizen lainnya karena kurang kewaspadaan dari bahayanya. Padahal ada hoax yang bisa berdampak ancaman serius bagi pertahanan keamanan nasional.
Ada tiga tips dari Teguh bagi netizen agar tidak terjerat tuntutan hukum akibat hoax. Ketiganya adalah, jika akan melakukan klarifikasi, cukup disampaikan narasinya saja tanpa perlu copy-paste konten hoaxnya. Klarifikasi tidak dilakukan dalam grup media sosial, tapi ditanya langsung ke individu yang dianggap tahu atau instansi resmi yang bisa mengklarifikasi isi hoax tersebut.
Kalaupun akhirnya telanjur meng-co-paste konten hoax dalam grup atau akun medsos, maka pastikan ada kalimat tambahan yang berisi pertanyaan klarifikasi meminta bantuan penjelasan. Hal ini untuk memperjelas bahwa tidak ada niat kesengajaan menyebarkan hoax seperti unsur delik UU ITE.
Teguh mengakui bahwa selama ini Kemenkominfo sebagai instansi yang diberi mandat untuk ikut menangani penegakan UU ITE tidak mendata secara khusus jumlah laporan kasus penyebaran hoax dari masyarakat.
“Kita nggak pernah mengidentifikasi konten itu masuk hoax atau tidak , tapi intinya kontennya negatif, ada yang bentuknya provokasi, macam-macam, ada yang bentuknya penipuan, jadi intinya hoax itu hanya istilah untuk menyebut konten yang isinya tidak benar, kita tidak pernah identifikasi satu per satu berapa jumlahnya,” jelasnya.
Menurut Teguh, hoax adalah industri baru bagi para produsen konten di dunia cyber. Dengan beragam motif, hoax tumbuh pesat. Namun demikian, para konsumen konten tetaplah yang paling bertanggungjawab untuk tidak membuat hoax menjadi viral. Berdasarkan identifikasi Kemenkominfo secara keseluruhan ada lebih dari 5143 aduan konten ilegal termasuk hoax di dalamnya sepanjang tahun 2016.
Presiden Jokowi diberitakan telah memberikan instruksi agar dibentuk Badan Siber Nasional (BSN) untuk menghalau penyalahgunaan media sosial dalam penyebaran hoax. Ketika ditanya mengenai perkembangan gagasan BSN ini, Teguh menjelaskan pada hukumonline bahwa perlu diluruskan pemahaman mengenai isu hoax sebagai masalah hukum dengan urgensi kehadiran BSN.
“Badan Siber dan isu hoax itu dua hal berbeda, isu hoax terkait konten ilegal, (sedangkan) BSN terkait kemanan secara nasional, tidak hanya karena konten hoax. Phishing, malware, virus atau sejenisnya akan menjadi concern Badan Siber,” katanya.
Menurut Teguh, penanganan hoax tidak menjadi tanggung jawab utama BSN, tapi koordinasi untuk penanganan konten negatif di dunia cyber akan dikoordinasikan dengan BSN. Nantinya hanya konten negatif yang berdampak pada pertahanan keamanan nasional yang akan ditangani langsung oleh BSN.
Sedangkan selebihnya akan tetap ditangani oleh lembaga yang memiliki kewenangan isu di bidang tersebut seperti BNPT, Polri, dll. Setelah lembaga berwenang menilai dan memberikan rekomendasi pemblokiran, Kemenkominfo hanya mengeksekusi permohonan tersebut.
BSN diprediksi Teguh akan hadir di awal tahun ini sebagai lembaga independen di bawah Presiden berkoordinasi dengan Menkopolhukam. Namun hal ini masih dapat terus berubah jelasnya. Menkopolhukam Wiranto mengatakan, pembentukan Badan Siber Nasional melibatkan 12 kementerian dan lembaga.
Sumber: