SUMBER : https://geotimes.co.id/kolom/sosial/vox-hoax-vox-dei/

Di Kota Mainz yang indah itu, di tahun 1440 M, seorang lelaki berbadan tegap mencoba sebuah penemuan yang nantinya akan mengubah dunia. Lelaki itu bernama Johannes Gutenberg. Dialah yang mencoba memadukan beberapa tekonologi sebelumnya dari Asia Timur, seperti kertas dan pencetakan dari blok kayu ciptaan Bin Shen. Dari sebuah penemuan inilah buku dan jurnal-jurnal ilmiah dicetak. Sebagaimana sejarah mencatat, pada tahun 1424 M, perpustakaan Cambridge yang masyhur itu hanya memiliki 122 buku.

Pada tahun 1452 M, Gutenberg memulai proyek pencetakan Alkitab dengan meminjam uang dari Johann Georg Faust. Di tengah proyek yang sedang berjalan, Gutenberg dikeluarkan dari proyek tersebut dengan tuduhan penyalahgunaan mesin cetak itu untuk mencetak yang lain. Namun Alkitab yang dicetak Gutenberg tersebut adalah buku bercetak tertua di dunia Barat.

Sejak itulah ledakan informasi pertama terjadi, di mana efek domino dari penemuan Gutenberg ini sangatlah massif, buku-buku menjadi sangat mudah dicetak dan tulisan-tulisan yang sangat langka sekarang bisa dimiliki oleh siapa saja. Penemuan ini didesak oleh mulai meningkatnya orang-orang “melek huruf” dari kalangan kelas menengah dan para mahasiswa di Eropa, sehingga penemuan ini sangat diperlukan oleh masyarakat masa itu.

Orang-orang yang memiliki akses terhadap pengetahuan pun semakin banyak, dan tidak hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu saja, sehingga “kebisingan” informasi pun tak terhindarkan. Bahkan ada dua pernyataan yang cukup keras di masa itu sebagai respons dari adanya banjir informasi. “Demikian banyak buku yang tergelar sehingga kita tidak punya waktu membaca, bahkan judulnya sekalipun!” keluh seorang penulis anonim asal Italia.

Andrew Marvell, seorang penyair asal Inggris pernah mengeluh, “Wahai percetakan! Bagaimanapun engkau telah mengganggu ketenangan hidup manusia!”

Dari percetakan buku dan Alkitab kemudian berpindah ke sebuah teknologi bernama internet, ada sebuah kesamaan dampak yang berlaku pada manusia, yaitu dipermudahnya distribusi informasi dari satu ke orang lain. Bahkan ada yang menyebut bahwa masa sekarang adalah masa banjir informasi. Terjadilah ledakan informasi kedua, yang mana ini lebih massif dan cepat, berita di satu daerah bisa diketahui dengan sangat cepat hanya dalam hitungan detik.

Kantor-kantor berita yang terkesan lambat merespons keadaan ini terancam gulung tikar, kebangkrutan pembaca menghantui dan mengintai mereka. Oleh karena itu, banyak kantor-kantor berita sekarang sudah melengkapi kantor mereka dengan beritaonline. Orang-orang mengakses informasi sekarang mudah, cepat, dan bisa di mana saja.

564 tahun kemudian, tepatnya 24 Februari 2004, seorang mahasiswa dari Harvard University bernama Mark Zuckenberg mendaftarkan sebuah situs pertemanan yang pada awalnya bernama thefacebook.com. Namun setelah perkembangan yang luar biasa jadilah facebook.com situs ketiga yang paling banyak diklik setelah Google dan Amazon. Sejak itulah mulai dikenal dengan sosial media. Sebenarnya Facebook pada awalnya hanyalah sebuah situs pertemanan yang diharapkan bisa mengkoneksikan pertemanan yang terpisah ruang dan waktu.

Terhubung dan Berbagi
Sejak dibidani oleh Zuckenberg di tahun 2004, ada banyak sosial media yang bermunculan dan bersaing dengan Facebook. Mereka saling beradu inovasi untuk merebut ceruk pengguna internet aktif di dunia yang sudah mencapai 3 miliar lebih dan lebih dari separuhnya juga pengguna sosial media. Facebook, Twitter, Instagram, Whatsapp, Line, dan lain sebagainya mewarnai kehidupan manusia.

Jika kita melihat tampilan situs Facebook di layar komputer, kita bisa melihat ada dua kata yang menjadi inti dari Facebook ini: terhubung dan berbagi. Terhubung berarti setiap kita bisa terhubung dengan semua orang yang kita kehendaki, bukan hanya terhubung tapi juga berbagi. Kita bisa berbagi apa saja, dari foto, tulisan, berita, dan lain sebagainya.

Dari dua kata tersebut, manusia di dunia sekarang merasa hidup dalam dua dunia yang berbeda sekaligus, yaitu dunia nyata dan dunia maya. Dalam dunia nyata kita masih dipisahkan jarak dan ruang. Berbeda dengan dunia maya, dalam dunia ini semua manusia merasa terhubung dan bisa berbagi apa pun. Tak salah Amar Yasraf Piliang mengatakan bahwa dunia sekarang ini bagaikan dunia yang dilipat.

Setelah masa media sosial semakin menguasai kehidupan ini, tak ada yang bisa terhindar dari dunia ini. Orang-orang seakan-akan terikat dengan dunia ini, dengan segala kemudahannya. Berbagi informasi adalah salah satunya, orang bisa berbagi informasi apa saja melalui media sosial. Bahkan informasi yang beredar pun bisa dikatakan meluber dan sangat berlimpah.

Hoax atau kabar bohong sedang merajalela di media sosial. Kalau dulu penyebaran berita bohong haruslah dirancang sedemikian rupa dan disokong unsur-unsur yang kuat, sekarang penyebaran berita bohong tak serumit dulu; yang penting bisa dibagikan ke mana-mana dan inilah fungsi sosial media saat ini. Sosial media saat ini penuh dengan berita-berita yang tak jelas asalnya dan sulit dilacak kebenarannya.

Terjebak di Era Post-Truth
Menurut Oxford Dictionaries,“post-truth”diartikan sebagai istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi di mana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif. Istilahpost-truth mukai digunakan oleh seorang penulis asal Serbia bernama Steve Tesich yang menggambarkan situasi skandal Irak Contra dan Perang Teluk. Untuk lebih mudahnya, post truth menggambarkan bagaimana fakta tidak lagi dominan dalam mempengaruhi orang.

Istilah inilah yang dipilih Oxford Dictionaries sebagai “Word of the Year”. Mereka menobatkan kata ini setelah melihat dua kejadian yang menarik di dunia saat ini. Pertama, keluarnya Inggris dari persekutuan ekonomi Uni Eropa. Kedua, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden ke-45 negara adidaya Amerika Serikat.

Mereka menyimpulkan bahwa fakta-fakta terjadi di lapangan tak banyak lagi mempengaruhi masyarakat. Misalnya, dalam kasus Pemilu Amerika Serikat, banyak masyarakat merasa berbagai kebohongan dan sikap rasis Donald Trump tidak lagi dianggap sebagai persoalan. Mereka tetap menilai Trump adalah kandidat presiden terbaik. Trump bisa melenggang ke Gedung Putih karena mampu mengeksploitasi rasa takut penduduk Amerika Serikat, bahkan dengan menggunakan sejumlah kebohongan.

Inilah yang juga terjadi di Indonesia ketika banyak berita bohong yang digunakan untuk menjatuhkan lawan politik, lawan ideologi bahkan lawan dalam berebut kekasih. Kebanyakan kita tak sadar karena terlalu banyak mengkonsumsi berita atau informasi yang tak layak atau bahkan berita bohong dan ujaran kebencian. Sebuah berita dibuat dan dirancang untuk meninggikan seseorang atau menjatuhkan seseorang. Tidak terlalu penting itu benar atau tidak, tapi bisa memenuhi atau memuaskan hasrat orang-orang yang menjadi target sebaran mereka.

Masyarakat kita sudah seharusnya mulai menggalakkan tabayyun atau melakukan cek ricek dalam sebuah berita. Jangan sampai berita itu diiyakan dan dibagi di media sosial hanya karena sesuai dengan keinginan kita atau tidak. Suatu berita itu dikategorikan benar ataupun tidak bukan karena berita itu sesuai dengan keinginan kita, tapi karena memang sesuai dengan fakta dan sudah melalui cek dan ricek kebenaran fakta tersebut.

Hoax atau berita bohong pun seharusnya kita hindari, bukan diamini bagaikan itu tanda dari tuhan yang tidak mungkin kita dustakan. Ya, sesuai dengan judul tulisan ini, sekarang kita sudah menganggap Vox Hoax Vox Dei (Suara Hoax Suara Tuhan)

https://www.facebook.com/groups/fafhh/permalink/409521522713722/