Isu mengenai Warga Negara Asing yang membantu membuatkan jembatan di daerah terpencil terkena denda hingga ratusan juta telah diklarifikasi oleh Imam B Prasodjo, Sosiolog UI. Berikut klarifikasinya:
AKHIR CERITA TONI RUTTIMAN DAN BIAYA DEMURRAGE DI PELABUHAN
Saya tak menyangka tulisan saya di FB ini terkait dengan Toni Ruttimann, relawan Swiss yang membantu kita membangunkan jembatan gantung, mendapat tanggapan sangat baik dari berbagai pihak. Saya berterimakasih pada Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan juga segenap Dirjen, khususnya Dirjen Bea Cukai dan Dirjen Bina Marga yang telah secara khusus membantu mempercepat proses ini. Saya juga berterimakasih atas dukungan semua sahabat yang peduli terhadap masalah ini sehingga kasus ini menjadi perhatian bersama guna dijadikan sebagai bahan perbaikan ke depan.
Seperti saya sebutkan dalam tulisan sebelumnya, saya memang prihatin terhadap nasib Toni Ruttimann, yang sejak tiga tahun lalu keluar masuk wilayah terpencil di Indonesia untuk mendorong warga desa bergotong-royong membangun jembatan gantung secara swadaya, namun kerjanya terhambat karena importasi wirerope dari Swiss (yang digunakan sebagai bagian bahan jembatan gantung) terkendala pembebasannya dari pelabuhan Tanjung Priok. Ini sama sekali bukan kesalahan Bea Cukai. Justru Bea Cukai yang proaktif membantu namun mengalami kesulitan karena lambatnya pengurusan dokumen dari instansi terkait. Akibat kelambanan ini, biaya pemakaian peti kemas atau demurrage jadi membengkak.
Saya prihatin saat itu karena saya tidak ingin Toni Ruttimann yang sudah membantu kita harus membayar biaya demurrage padahal kelambatan pengurusan proses perizinan, menurut saya, adalah tanggung-jawab pemerintah Indonesia sebagai penerima hibah.
Perlu diketahui, sejak pertama kali Toni Ruttimann datang ke Indonesia dan dilakukannya kerjasama penyaluran bantuan melalui Dirjen Bina Marga sebagai penerima hibah, beberapa kali importasi wirerope sebenarnya telah dilakukan dan relatif berjalan lancar (kecuali pengiriman pertama). Namun proses importasi terakhir yang datang pada tanggal 15 Juli 2016 memang terhambat. Hambatan terjadi karena adanya pergantian pejabat dan staf dari instansi terkait yang biasanya mengurus perijinan ini.
Alhamdulillah, saat ini masalah telah dapat diselesaikan. Semua prosedur memang harus dilalui dan tak bisa dilakukan dalam waktu cepat karena ada aturan yang harus dipenuhi untuk menjamin keamanan masyarakat karena ada sebagian komponen barang, walau pun memiliki kualitas sangat baik, tetapi bukan barang baru. Selain itu, proses kehati-hatian juga dilakukan agar ijin impor yang dimaksud tidak disalah-gunakan oleh pihak yang tidak bertanggung-jawab. Toni dan asistennya, bernama Suntana, memahami hal ini. Karena itu pengurusan importasi sudah jauh jauh hari dilakukan dengan koordinasi dengan para petugas kementrian. Sayang petugas dari kementrian terkait yang biasanya membantu mengurus proses rumit ini mengalami rotasi penugasan (ditempatkan di tempat lain). Masalah menjadi lebih sulit diatasi karena (terus terang) ada pejabat baru dari kementrian terkait mempersulit proses ini dengan menolak menandatangani dokumen yang dibutuhkan (tidak seperti pejabat sebelumnya yang memperlancar jalannya proses perijinan). Untunglah masalah ini segera dapat diatasi dengan turun tangannya para dirjen kementrian terkait yang mengambil alih proses yang terjadi di bawah.
Karena dalam kasus ini Bea Cukai cenderung jadi sasaran kritik, perlu saya jelaskan bahwa para petugas dan pejabat Bea Cukai justru sangat proaktif ikut memperlancar proses ini. Hanya saja, Bea Cukai tak mungkin melakukan langkah-langkah di luar prosedur untuk mengeluarkan barang tanpa adanya kelengkapan surat surat perijinan yang diperlukan, yang harusnya diterbitkan oleh kementerian teknis terkait.
Kini, alhamdulillah, wirerope telah dapat dikeluarkan. Saya pribadi sangat berterima kasih kepada Bea Cukai karena sudah banyak membantu dalam melancarkan pengurusan dokumen impor, proses pembebasan bea masuk dan pajak impor, bahkan berkat bantuan Bea Cukai biaya storage tiga kontainer donasi wirerope untuk program bantuan jembatan gantung Toni Ruttimann di Indonesia juga dibebaskan.
Kementrian PUPR juga telah menyatakan akan mengganti biaya demurrage dan biaya lain yang harus dibayar akibat keterlambatan ini. Kini saya tengah menunggu invoice (tagihan) yang akan segera dibayar (reimburse) oleh pihak Bina Marga untuk mengganti uang Toni Ruttimann yang digunakan untuk menalangi membayar biaya demurrage dan lain lain ke perusahaan pelajaran. Tanpa uang tombokan dari Toni Ruttiman, sumbangan wirerope tak dapat dikeluarkan. Bila peti kemas berlama-lama numpuk di Tanjung Priok, biaya akan terus membubung dan akan semakin memberatkan.
Nampaknya kemelut ini akan berakhir dengan “happy ending.” Semua pihak berharap kerjasama yang telah berlangsung 3 tahun ini dapat kembali dilanjutkan tanpa perlu ada kendala di masa depan. Bila saat ini Toni Ruttimann telah membantu membangun 61 jembatan gantung, dengan bahan wirerope yang telah berhasil dikeluarkan, jembatan akan dapat terbangun hingga 100 buah. Lumayan untuk meringankan beban warga desa.
Saya ikut bergembira dengan selesainya masalah ini. Toni pasti tersenyum bila sempat membaca tulisan ini. Apalagi bila melihat foto foto kenangan berikut yang menjadi bagian perjalanan panjang selama Toni hadir di Indonesia. Foto berikut ada yang memperlihatkan peristiwa saat Toni Ruttimann bertemu Pak Joko Kirmanto, Menteri PU sebelumnya. Juga foto saat Toni berbagi ceritera dengan mahasiswa UI tentang perjuangannya membantu rakyat di berbagai negara mendirikan jembatan gantung. Sosok Toni Ruttimann bagi saya memang menjadi sumber inspirasi di tengah kemarau kebaikan di negeri kita.
#iPras 2016
Sumber:
https://www.facebook.com/imam.b.prasodjo/posts/545396315661530